Di dalamnya tampak seorang perempuan berbalut kain ulos. Senyum tersungging dari bibirnya. Tak sedikitpun kegalauan terpancar dari wajahnya. Tak jelas pula apa yang ia dekap. Seperti bayi mungil yang begitu nyaman mendengar detak jantung ibunya.
Saat melihat kotak berpenghuni patung perempuan itu, muncul atmosfer lain. Kita akan melihat ironi dalam karya Altje Ully Pandjaitan ini. Ia menamainya Ulos Hela.
Patung perempuan berkain ulos itu satu di antara sekian karya Altje Ully yang tengah dipamerkan di galeri Dia.Lo.Gue Artspace, Kemang, Jakarta Selatan. Pameran yang mengangkat judul "The Second Skin" itu berlangsung hingga 1 Mei mendatang.
Menurut kurator Jim Supangkat dalam katalog, kecenderungan Altje Ully selama 15 tahun terakhir hampir selalu menampilkan tubuh perempuan dalam keadaan telanjang. Tetapi patung-patungnya pada pameran ini semuanya berpakaian.
Pakaian dari kulit tipis ini menyerupai pakaian yang sebenarnya. Dibuat dengan pola, dijahit, bahkan dihiasi dengan aneka asesoris. Lalu, baju-baju yang nampak jadi itu dipakaikan ke patung-patung itu. Seperti manekin saja, meski ukurannya bukan 1:1.
Busana-busana itu menjadi ciri khas dari minat dan selera Altje Ully terhadap busana. Jim menyatakan, ekspose busana itu adalah persoalan baru pada perkembangan patung karya Altje. "Busana-busana itu mewakili dirinya. Menunjukkan identitas kediriannya," katanya.
Dalam sebuah catatan Altje menulis, pakaian-pakainan yang menjadi minat dan seleranya itu biasanya ketat, sangar dan tidak terlalu feminin. "Pakaian-pakaian ini selalu membuat saya lebih yakin tampil," ujar Altje.
Diluar Ulos Hela, yang menggambarkan ironi dan tradisional itu, karya Altje banyak menghadirkan patung-patung perempuan tak berambut dengan pakaian ketat, minim, dan modern. Sangat berbeda.
Misalnya, karya berjudul Hi! dan Stable. Dalam kedua karya itu, patung perempuannya memakai pakaian dengan bagian dada yang hampir terbuka, celana pendek sangat ketat, dan memakai sepatu boot tinggi hampir selutut. Seksi, tak terlalu feminin, dan berani.
Di mata Jim, Altje Ully bukan feminis yang akrab dengan wacana-wacana feminisme. Permasalahan gender justru muncul dalam dirinya hampir secara alami. Seperti ketika Altje menyorot pakaian seksi dikenakan perempuan. Ia merasa, semua perempuan tak akan menyukai bila pakaian seksi yang mereka pakai disangka mengundang imaje seks. Pernyataan itu boleh dibilang tak lebih dari pemahaman laki-laki. Dan perempuan selalu kalah suara dalam menentukan bagaimana mereka dilihat. "Padahal justru ingin pakaiannya yang dilihat," katanya.
Ya, pakaian-pakaian itu seperti menjadi suara Altje untuk menuntut suara perempuan diperhitungkan. Barangkali baginya, pakaian tak bisa serta merta dipisahkan dari tubuh perempuan. Seperti kulit kedua baginya. Dan tak semata-mata tubuh yang dilihat, tapi pakaian yang dikenakannya.
@
ISMI WAHID