TEMPO Interaktif, Jakarta - Kepala Dinas Pariwisata dan Budaya DKI Jakarta Arie Budiman meminta pengelola menjadikan gedung Bataviasche Kunstkring atau Lingkar Seni Hindia Belanda, yang pernah menjadi Buddha Bar, sebagai galeri seni dengan restoran sebagai fungsi pendukung. "Ketentuan awalnya memang begitu," kata dia kemarin.
Menurut Arie, dia belum memberi izin, meski sudah menerima surat permohonan izin usaha dan pergantian nama baru dari pengelola gedung. "Permohonan sudah masuk dan masih dalam proses." Izin baru akan dikeluarkan selama gedung itu dijadikan galeri seni. Dengan menjadikan gedung sebagai galeri seni, tempat itu diharapkan akan lebih hidup dengan pameran kesenian dan menjadi pusat jual beli benda-benda seni.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan izin kepada swasta untuk mengelola gedung itu dengan harapan melestarikan bangunan yang memiliki nilai sejarah. "Dengan memberikan izin kepada swasta untuk mengelola, gedung ini akan lebih terjaga dan terawat," kata Arie. Meski ia juga menyadari bahwa pihak swasta juga membutuhkan aktivitas bisnis.
Sebenarnya, menjadikan bangunan bersejarah sebagai bangunan komersial telah menjadi tren di kota-kota tua di Eropa. Di Indonesia, hal ini belum menjadi tren. "Sebenarnya peminatnya besar, tapi biaya konservasi dan pemugaran yang besar sering jadi kendala," kata Kepala UPT Balai Konservasi DKI Jakarta, Candrian Attahiyyat. Menurut dia, pihak swasta menginginkan pemerintah provinsi yang memugar.
Masalah izin juga sering menjadi kendala. Izin untuk bangunan tua itu terpisah. Pengusaha harus meminta izin ke Dinas Tata Kota, Dinas P2B. Izin untuk bangunan tua itu belum satu atap. Belum lagi pajak yang cukup besar. Untuk bangunan tua bertipe A, seperti gedung Bataviasche Kunstkring itu, nilai jual obyek pajak per meternya Rp 8 juta.
Meski sulit, pengelola Buddha Bar menjalankan bisnis bar di tempat bersejarah sangat tinggi itu (lihat timeline) mulai November 2008. Bar waralaba internasional ini berpusat di Prancis. Namun Perwakilan Umat Buddha Indonesia menolak penggunaan nama Buddha. Pengelola kemudian menurunkan nama Buddha Bar dan kembali menggunakan nama gedung "Bataviasche Kunstkring". Belakangan gedung itu disegel oleh Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan. Namun aktivitas renovasi tetap dilakukan, meski segel terpasang.
Demi bisa berbisnis dengan tenang, pengelola mengubahnya lagi menjadi restoran dan galeri dengan nama Bistro Boulevard. "Kami sudah melepas hak sebagai franchise Buddha Bar," kata Marketing Communications Bistro Boulevard, Donna Pratamawansyah, kemarin. Patung Buddha besar yang dulu diletakkan di tengah ruang utama sebagai ikon waralaba asal Prancis sudah tak tampak lagi. Patung itu sudah disumbangkan ke sebuah vihara di Jawa Tengah.
Kini nama baru Bistro Boulevard terpampang di depan gedung dua lantai bercat krem di ujung Jalan Teuku Umar itu. "Senin besok kami akan melakukan pre-soft opening." Kendati papan merah tanda bangunan disegel dari Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan DKI Jakarta masih tampak mencolok di bagian pagarnya.
Menurut Donna, manajemen Bistro telah menerima izin menggunakan gedung itu untuk ,sehingga segel hanya tinggal dicabut. "Tidak mungkin kami berani melakukan pre-soft opening tanpa izin."
AMANDRA MUSTIKA MEGARANI | PINGIT ARIA |ENDRI K