Seluruh anggota Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Jember yang membahas rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang pajak dan retribusi daerah, sepakat untuk tidak memasukkan PKL sebagai obyek pajak.
“Pembatalan kami putuskan setelah kami menerima banyak reaksi berupa masukan maupun protes dari masyarakat yang tidak setuju PKL dikenakan pajak," kata salah seorang anggota Pansus Lukman Winarno yang juga Ketua Badan Legislasi DPRD Jember, Selasa, 19 April 2011.
Juru bicara Fraksi Kebangkitan Bangsa Mudassir Mudhar menyatakan dukungannya terhadap pembatalan untuk memasukkan PKL sebagai obyek pajak.
Menurut Mudassir, selama ini penanganan PKL oleh Pemerintah Kabupaten Jember tidak maksimal. "Mereka selalu digusur tanpa penananganan yang jelas. Bahkan sering jadi sasaran pungli oleh banyak oknum," ujarnya.
Sebelumnya, dalam draft Raperda disebutkan bahwa PKL yang akan dikenakan pajak adalah pedagang yang meimiliki omset sekitar Rp 36 juta per tahun. Dengan demikian, ribuan PKL dengan pendapatan rata-rata Rp 100 ribu per hari akan diwajibkan membayar pajak.
Kendati PKL batal dijadikan obyek pajak, proses pembahasan Raperda pajak dan retribusi tetap dilanjutkan.
Usaha warung dan restoran tetap menjadi sasaran pungutan pajak. Sejauh ini Pansus menetapkan pajak flat 10 persen untuk warung dan restoran yang memiliki omzet di atas Rp 100 juta per tahun.
Saat ini DPRD dan pihak eksekutif sedang membahas 11 Raperda, termasuk Raperda tentang pajak dan retribusi.
"Semuanya kami lakukan sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Semua Raperda dibuat untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD)," kata Pejabat Bupati Jember Teddy Zarkasih. MAHBUB DJUNAIDY.