Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengungkapkan, ada sebuah perusahaan tambang yang melaporkan nilai ekspornya hanya 5 juta ton. Ternyata, di negara tujuan, impor dari perusahaan itu tercatat 20 juta ton.
"Bentuk seperti ini yang ingin kami tertibkan, supaya hak Indonesia dalam bentuk penerimaan negara dan royalti tetap terpenuhi," katanya, Kamis lalu.
Atas dasar niat itulah pemerintah berkeras ambil bagian dalam pengelolaan perusahaan tambang besar di Indonesia, yang diawali dengan membeli 7 persen saham PT Newmont Nusa Tenggara.
Pada 18 Maret lalu, pemerintah pusat memastikan membeli 7 persen saham Newmont, meskipun ditentang oleh pemerintah daerah setempat, yang telah memegang 24 persen saham perusahaan tambang emas tersebut.
Menurut Agus, kepemilikan saham pemerintah pusat sangat diperlukan untuk menjaga hak negara. Jika berhasil, pemerintah bisa memanfaatkan royalti dan keuntungan produksi batu bara.
Dihubungi kemarin, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies Marwan Batu Bara mengatakan praktek bisnis ilegal sudah lazim dilakukan oleh beberapa perusahaan tambang.
Modus utamanya adalah penyelundupan hasil tambang. Modus kedua dengan mengirimkan hasil tambang ke anak usaha di luar negeri dengan harga yang lebih rendah (transfer pricing).
"Setelah itu, mereka menjual lagi ke pasar dengan harga pasar." Modus ketiga adalah memanipulasi jumlah produksi. Praktek culas terakhir ini biasanya melibatkan petugas Direktorat Jenderal Pajak.
Akibat kejahatan tersebut, pada tahun lalu negara diperkirakan kehilangan 30 persen dari total pendapatan negara dari pertambangan yang besarnya sekitar Rp 50 triliun.
Untuk mengurangi potensi kerugian, Marwan setuju dengan upaya pemerintah pusat ikut terlibat sebagai pengelola perusahaan tambang besar. Bahkan dia mengusulkan agar pemerintah juga masuk ke perusahaan tambang lainnya, seperti Freeport dan PT Indonesia Aluminium.
Usulan Marwan ini sejalan dengan pernyataan Menteri Agus sebelumnya, yang mengatakan, setelah Newmont, pemerintah berencana mengambil alih pengelolaan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Kontrak Inalum berakhir pada 2013.
IRA GUSLINA | EFRI RITONGA