TEMPO Interaktif, Jakarta - Sejumlah kalangan mendesak pemerintah untuk menerapkan bea masuk anti dumping sementara (BMADS). Bea ini khususnya diterapkan terhadap sejumlah produk yang terindikasi mengalami injury setelah satu tahun pelaksanaan pasar bebas ASEAN-Cina (CAFTA).
Sejumlah produk dalam negeri diperkirakan mengalami dampak buruk akibat kalah bersaing dengan barang impor yang masuk secara ilegal. Penerapan bea anti dumping dan safeguards menurut pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, Aggito Abimanyu diperlukan sebagai solusi jangka pendek.
“Tapi mekanismenya terlalu lama, pemerintah perlu mengambil terobosan dengan menerapkan BMADS, sebelum industri kita keburu gulung tikar,” kata mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal ini di Jakarta, Selasa (26/4).
Selain itu pemerintah juga bisa memakai instrumen perlindungan sementara seperti bea masuk non tarif sementara, proteksi, bea masuk imbalan dan standar nasional Indonesia.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Unika Atma Jaya Prasetyantoko. “Mekanismenya perlu diperingkas, jangan bertele-tele dan terlalu lama,” katanya.
Namun, menurut Anggito, pemerintah saat ini tampaknya masih gamang dan takut untuk menerapkan mekanisme perlindungan sementera seperti BMADS. Penerapan BMADS memang beresiko. Apabila terbukti tidak melakukan pelanggaran, pemerintah harus mengembalikan bea yang ditarik dari importir.
Misalnya sebelumnya bea masuk hanya 5 persen, kemudian dikenakan BMADS dan dinaikkan menjadi 20 persen. Apabila kemudian tidak terbukti, maka pemerintah harus mengembalikan dana yang ditarik tersebut. “Karena itu tampaknya pemerintah tidak berani melakukannya,” ungkapnya.
AGUNG SEDAYU