TEMPO Interaktif, Denpasar - Perempuan-perempuan model itu berwajah cantik dan tinggi semampai. Gaun-gaun yang mereka kenakan melambai aneka warna, mengungkapkan keceriaan dan gaya hidup merdeka. Dari penampilannya terlihat jelas mereka hidup dalam pergaulan dunia modern, ketika kesetaraan antara pria dan wanita bukan lagi sesuatu yang layak dipersoalkan.
Begitulah gambaran puluhan karya Nyoman Sani yang kini dipamerkan di Bentara Budaya Bali hingga 9 Mei nanti. Pelukis kelahiran Sanur, 10 Agustus 1975, itu berasyik-masyuk mengeksplorasi kemungkinan bahasa rupa dalam fashion. “Kemungkinannya masih tetap terbuka meski sudah 17 tahun aku menjelajahinya,” ujar ibu dua anak ini.
Sani mengaku tertarik pada fashion karena inilah cara seorang perempuan mengungkapkan jati dirinya kepada orang lain, baik di sekitarnya maupun di komunitasnya. Dunia batin perempuan terhubung dengan dunia luar melalui cara itu. Gaya dan warna adalah medium ekspresi seraya menyediakan teka-teki bagi kaum laki-laki.
Meski pamerannya berdekatan dengan hari Kartini, Sani mengaku tidak mau mengaitkan karyanya dengan isu emansipasi. Bagi dia, wanita memiliki naluri yang berbeda dengan kaum pria, seperti keinginan disanjung dan dipuja penampilannya. Hubungan di antara keduanya seharusnya berupa harmonisasi karakter-karakter yang berbeda.
Memang tema lukisan yang ia usung itu sering mendapat kritik karena dianggap hanya mewakili kehidupan kaum perempuan mapan. Tapi, sebagai perupa, Sani memiliki pilihan pribadi untuk menentukan obyek dan visi lukisannya. Menangkap realitas mengenai perempuan yang berada dalam penderitaan, menurut Sani, bukan perkara mudah. Ia merasa sangat kesulitan menuangkannya dalam lukisan karena empati yang terlalu dalam kepada mereka yang kemudian “menyiksa” dunia batinnya.
Sani pernah berusaha melukiskan kehidupan wanita pekerja seks yang gampang ditemui di salah satu kawasan Sanur. Namun, setelah melihat langsung dan mengikuti kehidupan mereka, dia merasa tercekam oleh perasaan kurang menyenangkan karena merasa sangat berduka atas kenyataan yang dihadapinya.
Simpatinya kepada kaum perempuan kemudian ditunjukkan lewat cara yang lain. Dalam pameran ini, misalnya, dia juga memajang sejumlah foto karyanya dengan tema “Woman: Before and After”. Foto-foto itu menunjukkan wajah perempuan sebelum dan sesudah dirias. Kelihatan sekali betapa make up mampu mengubah mereka menjadi lebih cantik dan berbeda dengan sebelumnya. Sani ingin menunjukkan simpatinya kepada wanita yang merasa rendah diri karena merasa buruk rupa. Padahal, dengan sedikit polesan, mereka bisa tampil beda.
Bagi perupa senior perempuan Mary Northmore, Sani adalah satu dari sedikit perempuan Bali yang masih mampu bertahan dalam beratnya beban sebagai seorang ibu di Bali. “Kewajiban adat mereka luar biasa banyaknya,” ujar pemilik Seniwati Gallery, yang khusus mendukung pelukis perempuan Bali itu. Dia makin kagum karena Sani juga menggunakan medium seni yang lain, seperti puisi dan fotografi, untuk mengungkapkan bakatnya.
Mary mengatakan meskipun hanya seputar fashion dan ekspresi perempuan, tema lukisan Sani tetaplah menarik. Sebab, Sani terus mengolah obyek itu dengan mencermati perkembangan dunia fashion saat ini dan menggabungkannya dengan gesture wanita modern. Dia percaya Sani akan memiliki penggemar tersendiri, khususnya dari kalangan perempuan yang secara naluriah memiliki kedekatan dengan karya-karyanya itu.
Pengamat seni dan multimedia Syamsudin Noer Moenadi, yang memberi pengantar dalam pameran ini, menyatakan karya Sani merupakan sebuah pernyataan kedaulatan dirinya. Kedaulatan di tengah gaya hidup yang nge-pop, urban, dan melepaskan diri dari tradisionalisme. Sani menyoroti perilaku serta gaya hidup masyarakat yang gandrung akan teknologi baru, yakni telepon seluler dan Internet serta pernik-perniknya. Gaya hidup perempuan pun terimbas sepenuhnya oleh tren mode terbaru yang sulit ditolak oleh wanita mana pun.
ROFIQI HASAN