"Karena kita mintakan CN-235 lisensi dari FAA. Pesawat itu mendapat approval di bengkel FAA," ujar Praktisi Penerbangan, Arista Atmadjati, Senin, 9 Mei 2011. Sementara, MA-60 hanya memiliki lisensi dari Civil Aviation Administration of China dan otoritas penerbangan Indonesia.
CN-235 merupakan buatan PT Dirgantara Indonesia bekerja sama dengan perusahaan asal Spanyol, CASA. "Karena itu, CN-235 lebih teruji ketimbang MA-60. Pasalnya, CN-235 menggunakan teknologi mesin dari CASA yang cukup dikenal sebagai pabrikan pesawat-pesawat jenis kecil," kata Arista.
Menurut Arista, dengan lisensi dari FAA, pesawat CN-235 menjadi andalan bagi beberapa negara Timur Tengah. "Di negara-negara Teluk, pesawat CN-235 dikonversi menjadi pesawat pemantau militer," ujar dosen penerbangan di STTKD Yogyakarta tersebut.
Dibandingkan CN-235 yang dibeli lewat jalur murni komersial, pesawat MA-60 biasanya dibeli sebagai imbal balik dagang antara pemerintah Cina dengan negara pembeli. Kendati demikian, CN-235 berkapasitas lebih sedikit ketimbang MA-60. MA-60 mampu menampung 60 penumpang, sedangkan CN-235 hanya 30 penumpang.
Namun, Arista Atmadjati menilai lisensi dari Federal Aviation Administration (FAA) tidak wajib selama pesawat tersebut tidak melayani penerbangan antarnegara. Tapi, akan lebih baik lagi jika pesawat itu mendapat lisensi FAA.
Pesawat jenis MA-60 milik Merpati Nusantara Airlines jatuh di Kaimana, Papua Barat, pada Sabtu, 7 Mei 2011. Pesawat buatan Xian Aircraft Industry Ltd, Cina, itu tak memiliki lisensi FAA. Kendati tidak memiliki lisensi FAA, pesawat itu tetap bisa beroperasi di Indonesia.
"Kalau Departemen Perhubungan menyatakan pesawat itu layak terbang, ya enggak masalah (tidak memiliki lisensi FAA)," ujar Arista. "Cuma kalau pesawat itu melayani penerbangan luar negeri, biasanya harus pakai lisensi FAA. Negara tujuan biasanya mensyaratkan lisensi dari Amerika Serikat atau Eropa."
Menurut Arista, selama ini di Indonesia syarat pesawat bisa mengudara adalah sertifikasi dari Direktorat Jenderal Kelayakan Udara Kementerian Perhubungan. Sementara, sertifikasi dari FAA hanya merupakan tambahan saja.
Kendati demikian, kata Arista, mayoritas pesawat yang beroperasi di Indonesia sudah memiliki lisensi dari Amerika Serikat (FAA) ataupun dari Eropa (EASA). Sebab, mayoritas pesawat yang digunakan di Indonesia merupakan buatan Amerika atau Eropa.
Arista menjelaskan pesawat jenis MA-60 mayoritas digunakan di negara-negara berkembang, seperti Zimbabwe. Pasalnya, pesawat tersebut biasanya didapatkan dari kerja sama antarpemerintah atau imbal beli dagang antara Cina dan negara bersangkutan.
KODRAT SETIAWAN