"Terkait polemik yang mengatakan pesawat ini tidak punya sertifikat FAA, itu karena pesawat tersebut tidak beroperasi di Amerika sehingga tidak perlu ada sertifikat dari sana," kata Bambang saat ditemui di kantornya, Senin, 9 Mei 2011.
Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Udara telah menerbitkan Civil Aviation Safety Regulation (CASR) yang mengatur keselamatan. "CASR Indonesia mengacu pada peraturannya Amerika Serikat," ujar Bambang.
Aturan tersebut terutama untuk peraturan penerbangan yang merujuk pada International Civil Aviation Organization, badan penerbangan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa. "Tapi, tiap-tiap negara membuat (peraturan) lagi," kata Bambang.
Pesawat yang akan terbang umumnya harus mengantongi type of sertificate untuk sertifikasi jenis dan aircraft sertificate terkait pemeliharaan. Direktorat Jenderal Perhubungan Udara sudah mengeluarkan kedua sertifikat itu untuk jenis MA-60 buatan 2006. "Yang berarti pesawat ini layak terbang," tutur Bambang.
Pernyataan senada pun dilontarkan oleh Praktisi Penerbangan Arista Atmadjati. Meski lisensi FAA tidak wajib selama tidak melayani penerbangan antarnegara, akan lebih baik lagi jika pesawat itu mendapat lisensi FAA.
Pesawat jenis MA-60 milik Merpati Nusantara Airlines jatuh di Kaimana, Papua Barat, pada Sabtu, 7 Mei 2011. Pesawat buatan Xian Aircraft Industry Ltd, Cina, itu tak memiliki lisensi FAA. Kendati tidak memiliki lisensi FAA, pesawat itu tetap bisa beroperasi di Indonesia.
"Kalau Departemen Perhubungan menyatakan pesawat itu layak terbang, ya enggak masalah (tidak memiliki lisensi FAA)," ujar Arista. "Cuma kalau pesawat itu melayani penerbangan luar negeri, biasanya harus pakai lisensi FAA. Negara tujuan biasanya mensyaratkan lisensi dari Amerika Serikat atau Eropa."
Menurut Arista, yang juga dosen penerbangan di STTKD Yogyakarta tersebut, selama ini di Indonesia syarat pesawat bisa mengudara adalah sertifikasi dari Direktorat Jenderal Kelayakan Udara Kementerian Perhubungan. Sementara, sertifikasi dari FAA hanya merupakan tambahan saja.
Kendati demikian, kata Arista, mayoritas pesawat yang beroperasi di Indonesia sudah memiliki lisensi dari Amerika Serikat (FAA) ataupun dari Eropa (EASA). Sebab, sebagian besar pesawat yang digunakan di Indonesia merupakan buatan Amerika atau Eropa.
Arista menjelaskan pesawat jenis MA-60 kebanyakan digunakan di negara-negara berkembang seperti Zimbabwe. Pasalnya, pesawat tersebut biasanya didapatkan dari kerja sama antarpemerintah atau imbal beli dagang antara Cina dan negara bersangkutan.
Meski pesawat MA-60 buatan Xian Aircraft Industry Ltd, Cina, itu itniatkan untuk menggantikan peran CN-235 buatan PT Dirgantara Indonesia, ternyata CN-235 memiliki lisensi dari otoritas penerbangan Amerika Serikat, Federal Aviation Administration (FAA). Sementara, MA-60 tidak memiliki lisensi FAA.
"Karena kita minta CN-235 lisensi dari FAA. Pesawat itu mendapat approval di bengkel FAA," ujar Arista. Sementara, MA-60 hanya memiliki lisensi dari Civil Aviation Administration of China dan otoritas penerbangan Indonesia.
CN-235 merupakan buatan PT Dirgantara Indonesia bekerja sama dengan perusahaan asal Spanyol, CASA. "Karena itu, CN-235 lebih teruji ketimbang MA-60. Pasalnya, CN-235 menggunakan teknologi mesin dari CASA yang cukup dikenal sebagai pabrikan pesawat-pesawat jenis kecil," kata Arista.
Menurut Arista, dengan lisensi dari FAA, pesawat CN-235 menjadi andalan bagi beberapa negara Timur Tengah. "Di negara-negara Teluk, pesawat CN-235 dikonversi menjadi pesawat pemantau militer," ujar dosen penerbangan di STTKD Yogyakarta tersebut.
Dibandingkan CN-235 yang dibeli lewat jalur murni komersial, pesawat MA-60 biasanya dibeli sebagai imbal balik dagang antara pemerintah Cina dengan negara pembeli. Kendati demikian, CN-235 berkapasitas lebih sedikit ketimbang MA-60. MA-60 mampu menampung 60 penumpang, sedangkan CN-235 hanya 30 penumpang.
ATMI PERTIWI | KODRAT SETIAWAN