TEMPO Interaktif, Jakarta - Nahdlatul Ulama (NU) kembali mempertegas sikapnya terhadap koruptor. "Hukuman layak bagi koruptor adalah potong tangan hingga hukuman mati," kata Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Marsudi Syuhud, saat membacakan Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU Tahun 2002 tentang hukuman bagi koruptor di Kantor Pusat PBNU, Kamis, 26 Mei 2011.
Mengacu pada syariat Islam, NU menilai korupsi sebagai penghianatan berat terhadap amanat rakyat. "Korupsi dapat dikategorikan sebagai pencurian dan perampokan," kata Marsudi.
NU juga menyatakan, pengembalian uang hasil korupsi tidak menggugurkan hukuman. "Karena tuntutan hukuman merupakan hak Allah, sementara pengembalian uang korupsi ke negara merupakan hak masyarakat," jelas Marsudi.
Menurut para ulama NU, uang negara adalah uang Allah yang diamanatkan pada pemerintah sebagai milik negara. "Bukan untuk penguasa, bukan untuk penguasa," kata Marsudi berulang-ulang.
Uang negara, yang sebagian besar dari pajak, harus digunakan bagi kemaslahatan rakyat, terutama fakir miskin, tanpa diskriminasi. "Apapun agama, warna kulit, dan sukunya," jelas Marsudi.
Menurut dia, sikap NU tentang keuangan negara ini tercantum dalam Keputusan Muktamar NU Tahun 1999. Keputusan-keputusan NU kembali dibacakan sebagai suatu deklarasi antikorupsi. Pembacaan ulang hasil kajian para ulama itu dihadiri Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Ketua Umum PBNU Said Agil Siradj, dan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Ali Masykur Musa.
MARTHA RUTH THERTINA