TEMPO Interaktif, Jakarta - Seiring dengan membanjirnya produk impor pasca pelaksanaan perdagangan bebas Asean-Cina (Cina-Asean Free Trade Area/CFTA), Direktorat Bea dan Cukai memperketat pengawasan dokumen impor. Pengetatan pengawasan tersebut terutama pada kelengkapan dokumen Form E, yaitu surat keterangan asal atau certificate of origin yang khusus untuk negara yang tergabung dalam CAFTA.
"Kami sudah memiliki SOP bagaimana meneliti keabsahan dokumen tersebut," kata Direktur Jenderal Bea Cukai Agung Kuswandono hari ini, Kamis 26 Mei 2011 di Jakarta.
Penyelidikan untuk memastikan keabsahan tersebut dianggap penting untuk mencegah adanya impor barang dari negara yang tidak memiliki perjanjian pasar bebas dengan Indonesia, seperti CAFTA, masuk ke Indonesia dengan menggunakan Form E sehingga bisa memperoleh bea impor lebih rendah. Menurut Agung, pengawasan itu bahkan sampai pada cros-cek keaslian dokumen yang bersangkutan ke negara asalnya. Apabila ada dokumen yang mencurigakan akan ditahan dulu fasilitasnya. Petugas akan menanyakan ke negara bersangkutan tentang keasliannya. Agung mengakui bahwa impor meningkat pesat seiring dengan penerapan CAFTA.
Sehingga ada kemungkinan munculnya sebagaian pihak yang coba memanfaatkan kondisi tersebut dengan melakukan pemalsuan dokumen. "Itu konsekuensi logis dari kesepakatan perjanjian pasar bebas," katanya.
Selain itu langkah pengawasan tersebut perlu dilakukan karena eksportir Indonesia yang melakukan ekspor ke anggota CAFTA juga mendapat perlakuan yang sama, diperiksa apakah memiliki form E atau tidak. Sementara itu mengenai pemanfaatan form E dari Hongkong untuk ke Indonesia, menurut Agung, hingga sekarang masih belum bisa dilakukan.
Sejak penerapan CAFTA seluruh anggota yang tergabung dalam CAFTA menggunakan form E untuk mendapatkan bea masuk impor khusus. Namun hingga sekarang Hongkong masih menggunakan surat keterangan asal Hongkong sendiri, bukan Cina, karena Indonesia belum meratifikasi Operational Certification Prosedur (OCP) terkait third country invoicing dengan Hongkong. Sehingga importasi dari Hongkong tidak dapat memanfaatkan fasilitas CAFTA yang dimiliki oleh Cina.
Secara geografis Hongkong adalah bagian dari Cina, namun Hongkong memiliki sistem ekonomi yang berbeda dengan Cina. Hongkong sendiri adalah salah satu pemasok barang elektronik terbesar di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, impor produk elektronik dari Hong Kong pada Januari 2011 mencapai US$ 156.18 juta. Melonjak dua kali lipat dibanding pada periode yang sama pada 2010 yang hanya sebesar US$ 75,18 juta.
AGUNG SEDAYU