TEMPO Interaktif, Makassar - Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Selatan akan memperketat aturan impor yang masuk ke Sulawesi Selatan. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Disperindag, Achmad Habib, bahwa pengawasan akan diperketat, terutama bagi barang-barang atau komoditas yang bisa diproduksi dalam negeri. “Hal ini demi menjaga keberlangsungan UMKM,” tutur Habib, dalam acara sosialisasi yang diperuntukkan bagi para importir dan pelaku usaha di hotel Sahid Jaya Makassar, Kamis, 26 Mei 2011.
Habib mengatakan, khusus untuk komoditi impor, pada prinsipnya pemerintah bertanggung-jawab melindungi kepentingan dalam negeri, kepentingan petani dan nelayan, serta kepentingan tenaga kerja. Hal inilah, menurut Habib, merupakan poin yang utama diperhatikan. Beberapa produk yang dianjurkan untuk tidak diimpor ke Sulawesi Selatan, lanjut dia, adalah komoditas hasil laut, seperti ikan dan udang. “Kita adalah sentra penghasil ikan dan udang,” ucap dia.
Meski begitu, kata Habib, pemerintah tidak bisa membuat regulasi yang melarang masuknya komoditas ini. “Ikan dan udang merupakan komoditas yang tidak diatur secara khusus,” katanya. Dengan demikian, barang ini bisa masuk secara bebas. Namun, pemerintah tetap bertanggung-jawab untuk melindungi nelayan lokal sehingga perlu dilakukan sosialisasi bagi importir. “Inilah yang menjadi pekerjaan rumah bagi Disperindag untuk melindungi para nelayan dan petani,” ujar Habib
Habib menambahkan bahwa komoditas lain yang perlu diperhatikan masuk ke Sulawesi Selatan adalah beras dan jagung. Di supermarket-supermarket di Makassar masih sering dijumpai beras yang diimpor dari Jepang. Oleh karena itu, pemerintah akan bermain pada tarif impor. Habib mengatakan tahun 2020 nanti bea impor akan naik hingga 50 persen. “Sebenarnya kita tidak secara sengaja menaikkan tarif impor. Memang aturannya demikian,” katanya.
Namun, Habib tak memungkiri jika para pelaku usaha akan diberi kelonggaran terkait aturan impor ini. Dia memberikan contoh, gula rafinasi yang selama ini banyak beredar dalam negeri. “Gula rafinasi ini tidak boleh dijual ke masyarakat, hanya diperuntukkan bagi industri,” kata Habib. Oleh sebab itu, lanjut dia gula rafinasi diperbolehkan untuk diimpor dengan ketentuan jumlahnya dibatasi. Namun, ada kebijakan pemerintah yang memperbolehkan gula rafinasi dikonsumsi masyarakat. “Daripada kebutuhan gula masyarakat tidak terpenuhi, mau bagaimana lagi. Gula mahal dan produksi kecil,” tambahnya.
Menurut Habib, upaya memperketat aturan impor ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan dalam negeri terhadap komoditas dari luar. Misalnya, impor gandum untuk produksi terigu dan roti. Dia mengatakan harus ada upaya dari pemerintah agar industri dalam negeri menggunakan barang-barang lokal. “Apa salahnya jika kita mencoba membuat roti dengan tepung beras atau tepung jagung,” ujar Habib.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Sulawesi Selatan, H.M. Sain Muin, mengatakan masuknya ikan impor atau komoditas hasil laut lainnya ke Sulawesi Selatan bisa mempengaruhi perikanan di Sulawesi Selatan. Menurut Sain, hal ini bisa merugikan nelayan sehingga memang perlu dibuat aturan terkait hal ini. “Selama ini ikan-ikan kita harganya cukup terjangkau di pasar luar negeri, jadi tidak mungkin ada ikan impor yang masuk ke Sulsel,” kata dia.
ANSIWATI SYAHRIR