TEMPO Interaktif, Jakarta - Produsen tanaman hias masih terkendala untuk bisa memenuhi permintaan negara tujuan ekspor selama ini, seperti Singapura, Jepang, Korea Selatan, Malaysia dan Rusia. Direktur Budidaya dan Pascapanen Florikultura, Ani Andayani, menyatakan, skala industri tanaman hias yang masih didominasi usaha menengah dan mikro dan masih tingginya biaya investasinya membuat ekspansi industri ini belum maksimal.
Padahal, kata Ani, Indonesia berpeluang besar menjangkau pasar ekspor untuk tanaman hias ke negara-negara maju. Alasannya, banyak negara maju yang tak memiliki lahan untuk ekstensifikasi tanaman hias.
Beberapa jenis tanaman hias yang diminati pasar ekspor antara lain krisan, anggrek, mawar, gerbera, dracaena, aglaonema, adenium, euphorbia, lilium. Tahun lalu total nilai perdagangan tanaman hias mencapai US$ 35,39 juta. Tanaman dracaena menyumbang nilai ekspor tertinggi, $15.09 juta.
Bila dibandingkan dengan daya tarik industri tanaman pangan seperti padi yang butuh modal Rp 6-7 juta per hektare, tanaman hias bisa membutuhkan modal hingga Rp 600-900 juta per hektare. "Ini yang menyebabkan pembiayaan usaha skala luas untuk tanaman hias belum memadai. Paling pengusaha menanam sekitar 1.000 meter persegi," ujarnya.
Tahun ini, Ani memperkirakan total produksi tanaman hias meningkat 6-8 persen. Saat ini, sentra produksi tanaman hias berada di Jawa Barat, Jawa Tengah,
Sumatera Utara dan Bali.
Sebagai upaya mengembangkan industri florikultura dalam negeri dan peningkatan permintaan tanaman hias di dalam negeri, pemerintah telah menganggarkan dana sebesar Rp 46 miliar yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun ini. Dana ini untuk membantu petani dari aspek pendampingan, pelatihan dan penyediaan sumber benih.
ROSALINA