TEMPO Interaktif, Brussels - Presiden Prancis Nicolas Sarkozy ingin kelompok G-20 yang terdiri atas negara-negara industrial dan negara berkembang dapat berbagi database harga komoditas pangan untuk membantu mengontrol volatilitas pasar dan identifikasi adanya spekulan komoditas. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat akses terhadap pangan di beberapa daerah bakal semakin genting di masa-masa mendatang.
Dengan begitu, pasar juga akan diatur semakin ketat untuk mencegah kekurangan pangan secara masif. "Spekulasi, panik, dan minimnya transparansi membuat harga komoditas terus membubung. Apakah itu yang kita inginkan? Prancis sudah jelas menyatakan tidak," katanya.
Sarkozy yang kini menjabat sebagai presiden kelompok G-20 terus mendorong agar jaringan pasar komoditas pertanian semakin transparan. G-20 akan membawa isu lonjakan harga pangan ini dalam pertemuan antara menteri pertanian pekan depan.
Lebih jauh, ia mengungkapkan bahwa perbandingan antara harga komoditas pasar di pedesaan selama lima tahun belakangan dengan periode 1990-2008 lalu menunjukkan volatilitas harga yang sangat tinggi. Misalnya, untuk komoditas terpenting seperti sereal naik dua kali lipat, gula naik tiga kali lipat, dan beras naik empat kali lipat.
Oleh karena itu, ia mendesak agar G-20 ikut bertanggung jawab menyelesaikan masalah ini. Ia ingin para investor dan institusi keuangan ikut memikirkan hal tersebut.
Kenaikan harga komoditas, menurut Sarkozy, juga dipicu oleh kurangnya regulasi di pasar komoditas yang bisa mendorong industri keuangan kembali ambruk seperti pada tahun 2008.
"Akankah kita mengalami bencana di komoditas dan bahan mentah dunia?" katanya.
Untuk menggenjot transparansi dalam bursa komoditas ini, Sarkozy ingin ada sentralisasi data transaksi di bursa berjangka. Ia ingin data perdagangan ditampilkan untuk mendorong keamanan pangan dan kestabilan pasar dengan memotong ketidakpastian dari spekulasi yang berlebih di pasar.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dari PBB dapat mengumpulkan data dari berbagai bursa komoditas. Sebelumnya, FAO menuding kenaikan harga pangan yang memicu kekurangan pangan di Afrika.
"Kenaikan harga pangan dan bahan bakar semakin menyulitkan rumah tangga miskin dalam mengakses pangan," seperti dikutip dari pernyataan FAO.
Tahun ini, kenaikan harga pangan mendorong pengurangan konsumsi pangan dari Bolivia hingga ke Indonesia. Krisis di Libya yang memicu lonjakan harga minyak juga bisa mempengaruhi harga komoditas pertanian.
Dengan kenaikan jumlah populasi di dunia hingga mencapai 9 miliar penduduk di 2050 dan permintaan pangan bakal membubung hingga 70 persen saat itu, diperkirakan produksi tidak akan bisa memenuhi permintaan tersebut. "Kita tidak akan bisa memenuhi pangan 9 miliar penduduk di 2050," kata Sarkozy.
AP | R. R. ARIYANI