TEMPO Interaktif, Jakarta - Amerika Serikat dipastikan bakal membidik produk sepatu dari Indonesia untuk memenuhi pasokan dalam negerinya. Alasannya, harga sepatu dari Cina--yang selama ini 80 persen memenuhi permintaan warga di Negeri Abang Sam itu--sudah mulai mahal. Sebanyak 20 persen kebutuhan dipasok dari 12 negara lain, termasuk Indonesia.
Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar mengatakan bahwa Amerika ada kemungkinan membidik sepatu dari 12 negara pemasok tersebut selain Cina. "Ini peluang bagi Indonesia," katanya hari ini, Kamis, 16 Juni 2011. Rencananya, asosiasi sepatu dan garmen Amerika akan berkunjung ke Indonesia untuk menjajaki kemungkinan tersebut.
Menurut Mahendra, industri sepatu Indonesia berpotensi untuk mengambil kesempatan dan melebarkan pasar di Amerika. "Apalagi industri sepatu kita saat ini makin membaik," katanya.
Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko mengatakan bahwa memang saat ini produk Cina makin mahal seiring dengan makin naiknya biaya tenaga kerja Cina. Produksi di Cina juga sudah tidak lagi efisien sehingga Amerika yang selama ini sangat tergantung pada Cina untuk memenuhi kebutuhan alas kaki dan garmen mulai mencari alternatif dari negara lain. "Termasuk Indonesia, dan peluang ini memang harus segera kita tangkap," katanya.
Namun, persoalannya adalah saat ini kapasitas produksi industri alas kaki di Indonesia telah penuh sehingga belum memungkinkan untuk melakukan penambahan produksi. "Apalagi untuk memenuhi kebutuhan Amerika yang sangat besar tersebut," lanjut Eddy.
Ekspor produk alas kaki Indonesia saat ini lebih fokus ke Eropa daripada ke Amerika. Sebab, memenuhi order Eropa lebih mudah daripada Amerika. Standar dan persyaratan Amerika rumit bahkan sampai mengatur persoalan perlindungan HAM. Tahun ini, dari target ekspor alas kaki nasional senilai US$ 3,2 miliar, porsi ekspor ke Eropa mencapai sekitar 42 persen, sedangkan porsi ekspor ke Amerika sekitar 32-35 persen. "Saat ini hanya sekitar 5 merek yang diekspor ke Amerika, antara lain Nike dan Reebok," lanjutnya.
Sementara, untuk industri alas kaki kelas kecil dan menengah, menurut Dirjen IKM Kementerian Perindustrian Euis Saedah, saat ini sedang menghadapi persoalan minimnya bahan baku. Apalagi tingkat ketergantungan terhadap kulit sebagai bahan baku alas kaki di tingkat industri kecil dan menengah sangat tinggi. "Kami akan usahakan alternatif bahan baku lain supaya tidak tergantung pada kulit saja, misalnya kanvas dan kertas," katanya.
Jika persoalan kebutuhan bahan baku tersebut bisa teratasi, Euis optimis dalam 3 tahun mendatang, industri alas kaki dalam negeri akan bisa menandingi gempuran produk impor Cina dan kembali menguasai pasar domestik. "Karena tenaga kerja kita di sektor alas kaki lebih terampil," katanya.
AGUNG SEDAYU