TEMPO Interaktif, Yogyakarta -
Puluhan telapak tangan itu merayap di dinding. Terbuat dari guntingan kertas warna perak, berbaris mengular menuju pada sebait pada kalimat.
Those fingers aren’t mine; they look like
They belong on the body of a child
A girl who can possibly
Know the dirty delicious thing I know
Tulisan itu kelihatan tak rapi dan lebih mirip coretan tangan orang iseng. Di kanan dan kirinya, menempel dua gelungan rambut palsu. Berbagai aksesoris tambahan tergantung di atas masing-masing gelungan. Potongan tangan boneka plastik dan pernak-pernik mutiara mainan untuk gelungan kiri, serta sepasang sepatu, bra dan sebuah buku harian bersampul merah untuk gelungan kanan.
Indrani Ashe, seniman instalasi kelahiran Amerika, 1984, sengaja menggunakan dua gelungan rambut itu untuk menggambarkan tahapan perjalanan seorang perempuan. Dari masa kanak-kanak hingga tumbuh menjadi dewasa. Terpajang di sudut ruangan, karya itu merupakan bagian dalam pameran seni rupanya bersama Haseena Abdul Majid, seorang penulis, wartawan dan aktifis lembaga sosial masyarakat asal Singapura yang digelar di Kedai Kebun Forum, Yogyakarta, hingga 21 Juni mendatang.
“Saya mencoba memberi respon pada puisi Haseena,” kata Indrani di sela pembukaan pameran, Rabu (8/6) pekan kemarin. Pameran bertema “Belajar Membuat Api (Learning to Make Fire): Puisi Rupa tentang Sensualitas Perempuan”, “Bagaiaman kata-kata (dalam puisi) itu tervisualkan” itu disiapkan sejak Januari lalu.
Di tangan perempuan berdarah Bengali-Amerika yang sejak 2008 terus mondar-mandir Indonesia-Amerikan itu, puisi Haseena tervisualisasi dalam berbagai dimensi karya seni instalasi. Ruang galeri Kedai Kebun seluas sekitar 100 meter persegi itu dipenuhi rangkaian karya 2 dan 3 dimensi yang menempel di dinding, tergantung di plafon hingga membalut tiang di tengah ruangan.
Di bagian dinding yang lain misalnya, terpampang sebuah cermin berukuran tak kurang dari 50 X 50 sentimeter. Di sudut kiri bawah cermin menempel sebuah rak plastik dengan sebuah mug berisi sikat gigi di atasnya. Dalam karya instalasi yang mirip kaca di kamar mandi itu, Indrani menambahkan unsur dekoratif berupa guntingan kertas warna perak berbentuk mata. Jumlahnya puluhan dan terangkai menjadi semacam daun dan ranting pohon yang merambat di dinding.
Seperti yang tertulis di dinding ruangan, instalasi Indrani itu merupakan gambaran untuk sebuah puisi Haseena yang berbunyi; “Your eyes blot out the sink, the faucet and my purple tooth brush in a mug. I stole from a corporate coffe tyrant.”
Learning To Make Fire, kata Indrani yang pernah menjalani pendidikan di Wake Forest University Amerika jurusan Studio Seni pada 2006, merupakan satu rangkaian puisi yang dinarasikan dalam satu kesatuan tema, proses menstruasi dan menjadi tua. Dua kesatuan narasi itu, divusualkan dalam bentuk karya instalansi.
Bertemu dengan Haseena di Bandung setahun lalu, Indrani mengaku tertarik dengan ide Haseena tentang perempuan dan banyak hal yang terungkap di puisinya. Saat itu, mereka tinggal serumah dan banyak berdiskusi tentang persoalan aktual yang dialami perempuan. “Ada banyak pusisi yang dia tulis, tapi saya hanya memiliki sedikit diantaranya,” kata dia.
Untuk memenuhi hasrat menterjemahkan puisi Haseena, Indrani tak tanggung-tanggung dalam mempersiapkan pamerannya di Kedai Kebun. Bahkan, beberapa pekan sebelum pameran resmi dibuka, secara menyicil dia memasang beberapa bagian dari karya yang akan dipamerkan. Jadilah, saat pameran resmi dibuka Rabu pekan kemarin, ruangan yang berukuran tak terlalu luas, sekitar 8x8 meter, terlihat penuh oleh karyanya.
Karya-karya Indrani didominasi oleh stoking, kelambu, bantal, bra hingga rambut-rambut palsu. Di salah satu tiang ruangan misalnya, rangkaian stoking berisi busa ditumpuk menyerupai belasan kaki-kaki perempuan. Di bagian tengahnya, Indrani menyelipkan rambut-rambut palsu.
Rambut, menurut dia, adalah media yang tepat untuk menggambarkan aspek sensualitas perempuan. Setiap perempuan, juga semua manusia tentu memiliki rambut di sekujur tubuhnya. “ Masalahnya kemudian adalah dimana rambut-rambut itu tumbuh. Tentu saja di bagian yang terlihat hingga tak terlihat,” katanya.
Dari tiap karyanya, Indrani membawa dua sisi yang berbeda dari sensualitas perempuan. Dalam karyanya yang lain misalnya, yang berupa rangkaian tiga bantal menempel vertikal di dinding. Dua bantal di bagian atas dan bawah, yang mengapit sebuah banyal warna merah muda, dipenuhi oleh bra. Lagi-lagi, Indrani menambahkan rambut di masing-masing bantal uniknya itu.
Tiga bantal itu adalah representasi dari kehangatan seorang perempuan. Tak seorang pun di dunia ini, kata dia, yang tak pernah menerima kehangatan seorang perempuan. Baik saat dia menjadi anak yang mendapat kehangatan seorang perempuan yang menjadi ibu atau pengasuhnya atau ketika dia dewasa dari perempuan yang menjadi istri yang dicintainya.
ANANG ZAKARIA