TEMPO Interaktif, Jakarta - Kepala Badan Kebijakan Fiskal Bambang Brodjonegoro mengatakan bea masuk film impor naik 100 persen dibandingkan bea masuk yang sebelumnya diberlakukan. “Bea masuk yang lama dinilai terlalu murah sehingga film nasional merasa tidak fair,” kata Bambang kepada Tempo, di kantornya, Jakarta, Jumat 17 Juni 2011.
Bambang mengatakan tarif bea masuk yang baru itu diberlakukan secara spesifik. Artinya penghitungan tarif tidak lagi berdasar satuan meter panjang pita seluloid film, tapi berdasarkan per menit. “Menghitung panjang pita tidak lagi relevan, kami harus melihat barangnya, yaitu filmnya, berapa lama filmnya, menit sebagai satuan baru,” kata Bambang.
Menurut Bambang, dari satuan meter panjang pita film kemudian dikonversi ke satuan menit. Konversi ini dilakukan untuk mengantisipasi berkembangnya teknologi film digital. Dengan bentuk digital film akan menjadi barang yang tidak berwujud. “Nah yang bisa mewujudkan itu adalah menit tadi,” katanya.
Penghitungan nilai tarif bea masuk yang baru ini dengan mengasumsikan satu menit sama dengan 27,42 meter. Dari konversi tersebut dikalikan nilai pabean US$ 0,043 dan kurs rupiah Rp 9100 per dolar. Sehingga berdasar tarif lama, besaran bea masuknya sebesar Rp 10.729 per menit. Tarif ini yang kemudian dinaikkan sebesar 100 persen menjadi Rp 21.458 per menit film. Rp 21458 itulah yang kemudian menjadi tariff baru bea masuk film yang baru.
Menurut Bambang penentuan tarif yang baru ini disertai dengan memperhatikan besaran tariff di negara-negara lain terutama di Asia Tenggara. Di Thailand, pengimpor film cukup hanya mengimpor satu copy film dan kemudian digandakan di dalam negeri. “Karena disana industrinya sudah berkembang,” katanya.
Adapun di Indonesia selain industrinya belum berkembang, juga tidak ada aturan yang memaksa agar copy film digandakan di dalam negeri. “Sehingga copy film yang diimpor harus lebih banyak,” katanya.
Sehingga dengan model seperti itu Indonesia yang paling mahal dalam bea masuk impor film, karena harus mengimpor lebih dari satu copy film sedangkan Thailand cukup satu copy. Namun dengan hanya memperhatikan besaran tarif baru per menit tersebut, Indonesia tarifnya yang paling mahal setelah Thailand, sedangkan di Asia Timur setelah Korea Selatan dan Thailand. “Singapura setahu saya hanya 5 persen, Malaysia dan Brunei bahkan nol persen, jadi film impor disana tidak ada bea masuknya,” katanya.
Disamping persoalan tariff, Bambang mengatakan Kementerian Keuangan menginginkan adanya tata niaga film impor yang sehat. Jangan sampai ada monopoli impor film yang selama ini berlangsung. Namun Bambang mengakui Kementerian Keuangan mempunyai wewenang yang terbatas, yaitu hanya menentukan tarif bea masuk. “Kami bukan superbodi yang bisa menghajar semua,” katanya.
IQBAL MUHTAROM | AGOENG WIJAYA