TEMPO Interaktif, Jakarta -
“Mariah adalah almarhum ibu, bisa ibu siapa dan apa saja. Bisa Maria, Mariam, Mari. Bisa ibu kita, ibu pertiwi, ibu alam, ….”
Kalimat ini tertulis pada latar sebuah karya instalasi bertajuk Pangkuan Ibu. Berbahan besi krom, karya itu berbentuk papan seluncur yang tersambung instalasi mirip bulan sabit. Sebuah aklamasi penghargaan tak terbatas yang didedikasikan untuk sang ibu digoreskan sutradara kenamaan Garin Nugroho untuk merayakan 30 tahun kariernya di dunia film.
Sebagai bentuk pengabdiannya kepada ibu, Garin menggelar sebuah pameran instalasi seni rupa “30 Tahun Garin Nugroho Berkarya: Nderek Mariah” di Bentara Budaya Jakarta, 10-18 Juni ini. Nderek, yang berarti mengikuti atau menuruti, menjadi sebuah tuntunan bagi Garin. Ia “mengikuti” Mariah, yang tak lain adalah ibunya, lalu berjalan, dan setelah itu kembali lagi ke “pangkuan” ibu. Mariah, yang didefinisikan sebagai ibu, yang juga berarti perempuan, menapaki makna yang kian luas ketika bersinggungan dengan karya-karyanya.
Dalam pameran itu, ia memvisualkan perempuan-perempuan yang terlibat dalam proses kreativitasnya. Salah satunya adalah potret adegan film hitam-putih produksi rumah film SET berjudul Puisi Tak Terkuburkan. Potret itu mengabadikan “wanita dapur tua” penuh trauma. Perempuan yang diperankan Aty Cancer itu tampak pasrah di depan sipir penjara. Dengan tangan terikat di belakang, kepala emak yang berbalut kain itu hendak dikarungi.
Karya fotografi ini diperkuat oleh kehadiran instalasi patung seorang ibu yang berdiri memunggungi dengan kepala dikarungi. Juga beberapa cetakan foto digital bertajuk Mata Ibu hasil karya fotografer Bambang Harnowo.
Tengok juga karya berjudul Sujud Mariah. Dalam karya berbahan aluminium dan kayu itu tertulis kalimat “sujud panjang doa kebangkitanmu, siapa yang bisa menghitung”. Garin seakan hendak mengakui dirinya tak akan bisa sesukses sekarang tanpa untaian doa ibu kepada Sang Khalik.
Tak dimungkiri bahwa film Opera Jawa merupakan transformasi kejiwaan seorang sutradara sekaligus seniman. Karya Garin ini mendapat acungan jempol karena dianggap membobol pakem film. Berpijak pada film ini, tercipta dua karya instalasi bertajuk Pikiran Ibu dan Labirin Ibu #2.
Pikiran Ibu merupakan karya instalasi berbentuk kepala tertutup cadar dengan batok terbelah. Dari belahan batok kepala itu muncul sebuah pohon emas yang sebenarnya merupakan rangkaian otak. Adapun Labirin Ibu #2 berupa patung manusia tengkurap di atas meja setrika. Bagian atas tubuh patung itu tertutup kain merah menyala, sedangkan bokong hingga kakinya dibiarkan telanjang.
Selain karya-karya tersebut, ada karya-karya instalasi yang diabadikan dengan lensa. Ada Patung Lilin, yang mengabadikan pose penari Eko Supriyanto, dan instalasi patung kepala milik Entang Wiharso. Ada pula Tenda Kuning di bibir pantai saat senja dan pose penari Retno Maruti dengan kendi tersemat kain putih karya Tita Rubi. Lihat pula Kain Merah karya Sunaryo, Televisi karya S. Teddy D., dan pose Miroto dengan tari topengnya yang diabadikan Nindityo Adipurnomo. Beberapa adegan dalam film Generasi Biru dan tarian kecak dalam film Under the Tree juga dihadirkan.
Garin bukan sekali ini menggelar pameran. Sebelumnya, dia pernah menggelar pameran instalasi Opera Jawa di Haus der Kunst di Muenchen, Jerman (2009), dan pameran karya seni instalasi tentang hantu pada Festival Rotterdam, Belanda. Garin selanjutnya akan berpameran di Galeri Louis Vuitton, Paris, Prancis, bersama sejumlah seniman kenamaan, seperti Heri Dono, Eko Nugroho, Jompet, dan Eko Prawoto.
Meski begitu, Garin mengaku enggan beralih menjadi perupa. “Tidaklah,” ujarnya. Ia hanya berinterpretasi sekehendaknya lewat karya-karya ini. Tak jadi soal pula bila karya-karyanya tersebut menuai kritik. Itulah sebabnya, Efix Mulyadi dalam katalog pameran menegaskan karya seni yang digubah Garin justru membebaskan dan bukan membelenggu pada batasan. Inilah yang disebut sebagai “proses dari upacara ke upacara”.
Aguslia Hidayah