TEMPO Interaktif, Jakarta - Kalangan eksportir khawatir pedagang asing akan mendominasi pembelian kopi lokal. Hal itu karena terlalu mudahnya salah satu produk unggulan Indonesia itu dikirim ke luar tanpa hambatan pungutan ekspor.
Ketua Kompartemen Penelitian Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia, Benny Hermanto, mengungkapkan pemerintah telah menghapus pungutan ekspor kopi melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 10 Tahun 2011. Sebelumnya ekspor kopi dikenai pungutan Rp 30 per kilogram.
"Sekarang pedagang asing hanya datang, bawa dolar, sewa gudang lalu ekspor kopi," kata Benny, Minggu (19/6). Menurut dia, tak adanya pungutan itu dikhawatirkan membuat semakin banyak kopi Indonesia yang diekspor dalam bentuk mentah.
Derasnya ekspor di satu sisi juga merugikan industri lokal karena bahan baku tersedot habis. "Jadi, ketika konsumsi kopi kami sudah meningkat, jangan-jangan yang diminum masyarakat adalah kopi lokal yang diolah di luar negeri.”
Iuran eksportir kopi, kata Benny, sebenarnya masih dibutuhkan untuk dibayarkan kepada International Coffee Organization (ICO). Biaya ini dibebankan kepada pemerintah sebab yang menjadi anggota ICO adalah negara bukan pengusaha.
Benny mengatakan, pungutan ekspor kopi yang disetorkan kepada pemerintah sebenarnya juga memberi keuntungan kepada pengusaha. Sebab, nilai ekspor kopi berubah-ubah. Jadi, jika ada kelebihan pungutan ekspor, akan dikembalikan untuk pengembangan AEKI sendiri.
Saat ini, produksi kopi sedang turun. Tahun lalu jumlah produksi hanya mencapai 640 ribu ton. Tahun ini, hasil panen juga diperkirakan hanya sebesar 600 ribu ton. Kondisi tersebut membuat eksportir kesulitan mendapatkan kopi di pasar lokal. Benny belum menelusuri penyebab penurunan itu, karena produksi yang sedikit atau pembelian oleh asing meningkat.
Penurunan produksi ini juga berimbas kepada jumlah ekspor. Pada 2010, nilai ekspor hanya 410 ribu ton dan tahun ini diperkirakan sekitar 390 ribu ton.
Ketua Asosiasi, Suyanto Husein, mengatakan, pemerintah tidak membatasi pembelian kopi oleh pedagang asing. Sehingga pasar Indonesia memang lebih terbuka dibandingkan produsen kopi lainnya.
Apalagi, saat ini, pasokan kopi dunia sedang turun. Jadi, wajar pedagang asing mencari hingga langsung kepada petani di negara-negara penghasil kopi, termasuk Indonesia. "Para trader mau mengamankan supply kopi dari Indonesia.”
Selama ini, eksportir harus melaporkan rencana besaran ekspor kepada Asosiasi untuk mendapatkan rekomendasi saat membayar iuran ekspor. Tapi sekarang pedagang asing bisa langsung ke petani tanpa harus jadi anggota Asosiasi.
Karenanya, eksportir meminta pemerintah membatasi pembelian oleh asing. Misalnya, dengan aturan bahwa pembelian kopi oleh pedagang asing harus dengan kerja sama dengan pengusaha lokal. "Kalau bisa jangan terlalu terbuka, agar pengusaha lokal bisa tetap hidup," kata Suyanto.
Sebelumnya, Wakil Menteri Pertanian, Bayu Krisnamurthi, menyatakan, suplai kopi perlu dikelola dengan baik agar harganya tak jatuh. Ia berharap, petani Indonesia lebih mengembangkan kopi direct consumption dari pada kopi industri. “Karena harga direct consumption lebih tinggi.”
EKA UTAMI APRILIA