TEMPO Interaktif, Denpasar - Tujuh perupa asal Pulau Reunion (Prancis) berkumpul di Bali. Mereka melakukan proyek bersama dan menggelar pameran dengan sejumlah pelukis Bali. Pameran dilangsungkan di Gaya Art Space Gallery Ubud, 23–30 Juni 2011.
Pameran bertajuk “Tomorrow Maybe” itu berawal dari gagasan untuk melakukan pertukaran budaya. “Kebetulan kami saling bertemu di perhelatan seni rupa internasional,” kata Antonius Khos, salah satu pelukis asal Bali. Sebelum di Bali, empat perupa Indonesia (Antonius Kho, Anak Agung Oka Agung, Made Somadita, dan Syahrizal Koto) bertandang dengan membawa karya mereka ke Reunion. Satu orang perupa yang terlibat dalam proyek ini, Made Kaek, tidak dapat berangkat ke Reunion dan hanya memberangkatkan karyanya ke sana.
Selama berkunjung di pulau yang menjadi bagian dari Negara Prancis ini, para perupa Indonesia memamerkan karya mereka berdampingan dengan karya perupa setempat yang terlibat dalam proyek ini (Cristof Denmont, Stephane Kenkle, Charly Lesquelin, Richard Blancquart, dan Jean-Marc Lacaze) di The Saile Charles Beaudemoullin Art Space, Le Tampon, 3-10 Juni 2011.
Pameran di Gaya Art Space, Bali, 23–30 Juni 2011, merupakan kunjungan balasan para perupa Reunion ke Bali. Selain pameran, proyek seni rupa ini diisi pula dengan sejumlah program lain, termasuk lokakarya, kunjungan ke museum, galeri, dan studio seniman setempat, dan sebagainya.
“Kami melihat ada banyak kesamaan budaya antara kedua pulau ini,” kata Kho. Budaya Reunion terbentuk dari adukan tradisi Afrika, India, Cina, Eropa (khususnya Prancis) dan tradisi kepulauan. Orang Portugis dipercaya sebagai Bangsa Eropa pertama yang menginjakkan kaki di Reunion ketika pulau ini belum ada penghuninya, pada tahun 1513.
Reunion kemudian diduduki orang Prancis dan menjadi salah satu daerah seberang lautan Republik Prancis. Sejak abad ke-17 sampai ke-19, pulau ini menjadi dapur percampuran etnis yang terjadi dari gelombang imigrasi warga Prancis dan arus masuk orang Afrika, Cina Melayu, dan India Malabar. Kelompok-kelompok etnis yang ada di Reunion mencakup orang-orang berdarah Eropa, Afrika, Malagasi, India, dan Cina serta berbagai etnis campuran.
Mayoritas penduduk pulau ini adalah orang Kreol--nama umum untuk warga kelahiran Reunion--dari berbagai suku bangsa. Agama mayoritas penduduknya adalah Katolik Roma, tetapi ada pula kaum yang beragama Hindu, Islam, dan Buddha. Berkat keindahan alam dan pesona budayanya, seperti halnya Bali, pariwisata kini menjadi urat nadi perekonomian Reunion.
Sementara itu, Bali, seraya tetap menjaga budaya tradisional, telah menerima dengan tangan terbuka keragaman kultural yang dibawa masuk oleh orang luar. Kegiatan pariwisata yang muncul di Bali pada zaman kolonial dilanjutkan dan dikembangkan pada era pascakolonial, manakala pemerintah Indonesia berhasil melambungkan Pulau Dewata sebagai daerah tujuan wisata terpenting di Indonesia.
Berkat sejarahnya yang panjang dalam interaksi dengan orang luar dan posisi kontemporernya sebagai pusat industri pariwisata berskala besar, sebagaimana Reunion, Bali menjadi situs percampuran budaya.
Dewasa ini, orang Bali merupakan warga mayoritas di Bali dan hidup berdampingan dengan orang-orang dari beragam suku di Indonesia maupun orang-orang mancanegara. Agama Hindu-Bali mendominasi, tapi seperti halnya Reunion, berbagai agama lain juga mendapat tempat di Bali.
“Proyek ini memperagakan upaya penyikapan kultural terhadap apa artinya menjadi orang Reunion, orang Kreol, orang Bali, atau orang Indonesia, “ kata Arief Budiman, yang memberi pengantar untuk pameran ini. Kultur itu terbentuk dari suatu jaringan rumit pertemuan-pertemuan, pertukaran-pertukaran, dan persilangan-persilangan yang kian intensif dan ekstensif di dunia kontemporer.
ROFIQI HASAN