TEMPO Interaktif, Jakarta -A pakah yang masih bisa diharapkan dari Jakarta? Ibu Kota yang tengah merayakan hari jadinya yang ke-484 ini terlihat kian terseok menjalani hari-harinya. Beban yang mesti ditanggung jauh melampaui daya dukung yang ia miliki. Celakanya, dari tahun ke tahun, selisih antarkeduanya kian lebar.
Mari kita lihat dari fenomena yang saban hari "wajib" dinikmati warga kota Si Pitung ini: kemacetan! Tidak hanya pada jam sibuk saja, antrean kendaraan mengular hampir terlihat di mana saja dan nyaris di sepanjang waktu. Di jalan tikus, jalan-jalan arteri, hingga jalan protokol seperti Sudirman dan M.H. Thamrin, tak ada yang luput dari kemacetan.
Kecepatan rata-rata kendaraan di Jakarta kini hanya 13 kilometer per jam. Bandingkan dengan lima tahun lalu yang masih 18 kilometer per jam. "Ini parkir, bukan macet," kata Endra, warga Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, mengeluh setengah frustrasi. Kecepatan standar kota besar adalah 18 hingga 25 kilometer per jam.
Ditambah dengan kritisnya daya dukung yang lain, kota besar berpenduduk 9,5 juta jiwa ini boleh dikata merupakan kota yang gagal. Ruang terbuka hijau Jakarta, yang seharusnya 30 persen dari luas daratan 661,52 kilometer persegi, hanya bisa dipenuhi 9,6 persennya. Untuk keperluan air bersih sekitar 2,38 juta meter kubik sehari, hanya tersedia 1, 53 juta meter kubik. "Jakarta sudah sangat kritis," ujar Deputi V Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Luky Eko Wuryanto.
Tapi, toh, Jakarta harus diselamatkan. Sebagai Ibu Kota, juga sebagai kawasan tempat berhimpun masyarakat, kota ini tak mungkin dibiarkan "kiamat".
Berbagai gagasan mengangkat kota dari kebangkrutan, timbul-tenggelam seiring dengan persoalan yang kian sengkarut. Usul yang paling lunak adalah Jakarta harus mulai ditata secara sungguh-sungguh--tidak seperti sekarang ini. Sebaliknya, ada yang mengajukan pikiran radikal, yakni memindahkan Ibu Kota ke tempat lain yang sama sekali baru dan dibangun terencana.
Di antara kedua titik ekstrem itu, muncullah usul moderat, yaitu memperluas Ibu Kota dan menyebar bebannya ke kawasan penyangga di sekitar Jakarta. Orang menyebutnya The Greater Jakarta alias Jakarta Mega-Raya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah salah satu penyokong gagasan ini.
TIM | ENDRI K