TEMPO Interaktif, Jakarta - Gagasan memindahkan ibu kota negara dari Jakarta untuk mengurangi beban pernah diungkapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun lalu. Tapi, pada awal tahun ini, Yudhoyono melemparkan lagi ide lain: konsep Greater Jakarta.
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, dalam beberapa kesempatan terpisah, kepada Tempo menegaskan bahwa konsep Greater Jakarta atau Metropolitan Priority Area bukanlah ekspansi wilayah. Berikut ini petikan wawancara Tempo dengan Fauzi Bowo.
Bagaimana Anda melihat Jakarta sekarang ini?
Jakarta tidak hanya berfungsi sebagai Ibu Kota negara Indonesia, tapi juga pusat perekonomian, budaya, dan pendidikan. Indonesia saat ini berkembang pesat. Jakarta pun semakin tumbuh kuat dan pertumbuhan ekonominya mengakibatkan laju pertambahan jumlah penduduk di masing-masing daerah penyangga.
Kota ini merupakan tempat bagi usaha-usaha yang berskala besar dan bervariasi, sedangkan perusahaan multinasional dan perusahaan internasional telah memilih Jakarta sebagai pusat kawasan untuk mengembangkan usahanya ke daerah lain.
Hal ini sangat membantu Jakarta sebagai megapolitan dan sebagai salah satu ikon kemajuan bangsa serta simbol modernitas. Kesempatan tersebut menjadikan Jakarta sebagai magnitude bagi semua orang yang ingin menjadi bagian dari keunikan dan keragaman dalam kehidupan.
Namun, seperti kota-kota besar lainnya, Jakarta juga mengalami dampak kemajuan yang kurang positif, seperti polusi udara, ekspansi kawasan perkotaan, dan infrastruktur yang tidak selalu sejalan dengan laju pertumbuhan kota yang pesat. Ini artinya terdapat tekanan yang ekstrem terhadap pelayanan umum di Jakarta, seperti kesehatan, pendidikan, atau transportasi.
Bagaimana pengembangannya ke depan?
Lewat pengembangan wilayah, yang saya sebut Metropolitan Priority Area (MPA). Ini bukan konsep menambah wilayah. Dengan mengembangkan MPA, saya yakin Jakarta akan menjadi lebih baik, lebih terstruktur. Dan untuk ini, kami harus berusaha keras menatanya.
Menata dalam lingkup lebih besar dengan pengembangan ke wilayah sekitar Jabodetabek?
Bukan. Ini bukan berarti ekspansi wilayah. Saya tekankan lagi, tidak ada dalam konsep saya untuk pengembangan wilayah dalam arti geografis, tapi pemanfaatan ruang secara bersama. Pemanfaatan bersama, artinya ruang bersama. Jadi, lebih pada optimalisasi dan penataan wilayah yang ada.
Bagaimana dengan konsep Greater Jakarta? Apakah Anda mendukungnya?
Sebenarnya hal ini merupakan kesepakatan kami. Tapi tidak pada tempatnya kalau kesepakatan itu saya yang menyampaikan. Oleh karena itu, pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menyampaikan statement perlunya ada konsep Greater Jakarta.
Secara teknis, konsep ini sudah diketahui dalam bentuk pengembangan Metropolitan Priority Area atau MPA. Kami juga sudah mengundang para ahli dari dalam dan luar negeri untuk membicarakan ini.
Konsep ini bukan sekadar konsep ruang yang harus didukung oleh sarana, prasarana, dan infrastruktur. Karena infrastruktur inilah yang menentukan keberhasilan MPA, pada dasarnya harus ada ketegasan apa sarana dan prasarana yang menjadi pendukung untuk menjadi MPA.
Tentu akan ada penataan fungsi, yang saya bayangkan pada suatu saat kita akan punya pusat pemerintahan baru. Saya belum tahu dan tak bisa memberitahukan arahnya. Tapi, yang jelas, seperti Putrajaya di dekat Kuala Lumpur. Yang saya tahu, Bapak Presiden tidak berkeinginan memindahkan ibu kotanya, tapi memindahkan pusat pemerintahannya dalam satu area di Greater Jakarta.
Bagaimana hubungan Jakarta dengan daerah satelit dalam kaitan dengan konsep Greater Jakarta?
Kalau salah satu daerah mengambil inisiatif (untuk melakukan koordinasi), pasti daerah lain akan mengatakan “eh..., ini daerah gua”. Buktinya, Badan Kerja Sama Pembangunan Jabodetabekpur tidak berjalan. Karena itu, saya lebih baik tidak memberi komentar apa-apa.
Apa prioritas pada konsep MPA?
Transportasi harus jadi komponen utama. Dalam pengembangan wilayah metropolitan, transportasi jelas tak terelakkan dan jadi komponen yang utama. Sebab, kalau salah menerjemahkan sistem transportasi, akan menjadi amburadul. Salah satu pilihan itu adalah mengembangkan angkutan umum massal berbasis rel. Itu harus dan tidak terelakkan karena pembangunan transportasi berbasis rel ini dilakukan di mana pun di seluruh dunia. Misalnya Cina. Mereka mengembangkan sistem rel karena lebih kompetitif di masa yang akan datang.
Mengapa harus kereta api?
Saya melakukan survei khusus tentang kendaraan yang masuk-keluar Jakarta dalam sehari pada April lalu. Sebanyak 1,3 juta kendaraan dalam sehari bergerak menuju dan keluar dari Jakarta. Dibandingkan dengan zaman Pak Sutiyoso pada akhir jabatannya empat tahun lalu, ada sekitar 700 ribu kendaraan. Hampir dua kali. Ini artinya intensitas komuter sangat tinggi dan belum bisa kita respons dengan sistem angkutan massal. Dan angkutan umum massal yang daya angkutnya besar, ya, kereta api. Kalau dari awal kita menggunakan rel, tidak akan begini jadinya, tidak akan amburadul. Kalau kereta api yang dikembangkan, nantinya akan ada sistem yang konsisten yang bisa kita pertahankan untuk jangka panjang
IRA GUSLINA | AMANDRA MUSTIKA M | SITA P. A | YOPHIANDI KURNIAWAN