TEMPO Interaktif, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pengerdilan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) hanya satu dari sekian banyak pengerdilan lembaga yang dinilai reformis. "Ini hanya satu dari sekian banyak upaya pengerdilan lembaga yang menurut kita reformis. Selain MK, ada juga upaya pengerdilan Komisi Yudisial dan Komisi Pemberantasan Korupsi," ujar Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Febridiansyah, saat dihubungi Tempo, Rabu 22 Juni 2011.
Kemarin, Selasa 21 Juni 2011, DPR akhirnya mengesahkan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang baru. Dalam undang-undang baru ini, setidaknya terdapat ketentuan baru yang membatasi kewenangan MK. Pertama, DPR membatasi putusan Mahkamah Konstitusi hanya boleh memuat putusan yang diminta oleh pemohon. MK tak lagi dapat membuat keputusan yang melebihi permohonan pemohon atau lebih dikenal ultra petita. Kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok permohonan.
Kedua, dalam undang-undang ini dibentuk Majelis Kehormatan MK. Anggota Majelis Kehormatan ini nantinya terdiri dari satu perwakilan dari hakim konstitusi, anggota Komisi Yudisial, anggota DPR, hakim agung, dan pemerintah. Alasannya, untuk mengakomodasi seluruh unsur keterwakilan dalam rekruitmen hakim konstitusi. Ini juga untuk mewujudkan keseimbangan, profesionalitas, fairness di Mahkamah Konstitusi.
Ketiga, syarat pendidikan bagi hakim konstitusi adalah sarjana, doktor, dan magister, dengan dasar sarjana pendidikan hukum. Syarat ini diperlukan karena kompleksitas permohohan dan status seorang hakim Mahkamah Konstitusi adalah seorang negarawan.
Keempat, masa jabatan ketua dan wakil ketua MK selama 2 tahun 6 bulan dan dapat dipilih kembali. Dengan alasan untuk menumbuhkan tradisi kepemimpinan egaliter, kolektif dan kolegial. Hakim MK siap jadi pimpinan dan siap dipimpin tanpa mengejar jabatan. Kelima, usia pensiun hakim MK dinaikkan jadi 70 tahun disamakan dengan usia pensiun hakim Mahkamah Agung.
Keenam, penghapusan ketentuan undang undang, yang menyatakan bahwa pembentukan undang undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang undang berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Ketujuh, dalam pengujian undang undang, MK tidak menggunakan undang undang lain sebagai dasar pertimbangan hukum. Alasannya, agar MK berpegang teguh pada Undang-Undang Dasar 1945.
Terakhir, wacana MK tidak lagi memutuskan perselisihan pemilihan kepala daerah akan dibahas dalam pembahasan undang undang pemilihan kepala daerah.
Febri menilai, pengerdilan kewenangan MK ini merupakan upaya eskskutif dan legislatif untuk mengontrol MK. "Ini terjadi persekongkolan antara eksekutif dan legislatif," ujarnya. Ia mengatakan, hal ini karena selama ini MK sering membatalkan produk undang-undang yang kental dengan proses politik. "MK jauh lebih memberikan harapan dibandingkan dengan DPR ataupun pemerintah," jelasnya.
Upaya pengontrolan MK itu, lanjutnya, juga dapat dilihat dari masuknya unsur DPR dalam Majelis Kehormatan. "Kalau MK harus dikontrol, kami setuju. Tapi, tidak oleh lembaga politik seperti DPR," ujarnya. Pengontrolan MK oleh DPR menurutnya salah kaprah. Ia mengatakan, dengan masuknya unsur DPR dalam Majelis Kehormatan MK sama saja dengan menjerumuskan MK ke dalam tarik-menarik kepentingan politik.
Menurutnya, pengontrolan DPR atas MK cukup seperti apa yang sudah dilakukan selama ini. "Cukup seperti sekarang dalam hubungan mitra kerja. Kalau soal kode etik itu bukan ranahnya DPR," ujarnya.
FEBRIYAN