TEMPO Interaktif, Jakarta - Baru berumur sehari undang-undang MK disahkan di DPR, sejumlah lembaga swadaya masyarakat telah bersiap-siap mengajukan judicial review. "Kami akan ajukan judicial review terhadap undang-undang ini," ujar anggota koalisi Febridiansyah ketika dihubungi Tempo.
Polemik Undang-Undang MK yang kemarin baru disahkan muncul karena sejumlah kewenangan MK dikebiri. Setidaknya terdapat delapan pembatasan kewenangan MK dalam undang-undang ini. Pertama DPR membatasi putusan MK hanya boleh memuat putusan yang diminta oleh pemohon. MK tak lagi dapat membuat keputusan yang melebihi permohonan pemohon atau lebih dikenal ultra petita. Kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok permohonan.
Kedua, dalam undang-undang ini dibentuk Majelis Kehormatan MK. Anggota majelis kehormatan ini nantinya tgerdiri dari satu perwakilan Hakim Konstitusi, anggota Komisi Yudisial, anggota DPR, Hakim Agung, dan pemerintah. Alasannya, untuk mengakomodir seluruh unsur keterwakilan dalam rekruitmen hakim konstitusi. Ini juga untuk mewujudkan keseimbangan, profesionalitas. fairness di MK.
Ketiga, syarat pendidikan bagi hakim konstitusi adalah sarjana, doktor dan magister, dengan dasar sarjana pendidikan hukum. Syarat ini diperlukan karena kompleksitas permohohan dan status seorang hakim mahkamah konstitusi adalah seorang negarawan.
Keempat, masa jabatan ketua dan wakil ketua MK selama 2 tahun 6 bulan dan dapat dipilih kembali. Dengan alasan untuk menumbuhkan tradisi kepemimpinan egaliter, kolektif dan kolegial. Hakim MK siap jadi pimpinan dan siap dipimpin tanpa mengejar jabatan. Kelima, usia pensiun hakim MK dinaikan jadi 70 tahun disamakan dengan usia pensiun hakim Mahkamah Agung.
Keenam, penghapusan ketentuan undang undang, yang menyatakan bahwa pembentukan undang undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang undang berdasarkan Undang-undang Dasar 1945, undang undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Ketujuh, MK dalam pengujian undang undang, tidak menggunakan undang undang lain sebagai dasar pertimbangan hukum. Alasannya, agar MK berpegang teguh pada Undang Undang Dasar 1945.
Terakhir, wacana MK tidak lagi memutuskan perselisihan pemilihan kepala daerah akan dibahas dalam pembahasan Undang undang Pemilihan Kepala Daerah.
Febri sendiri mengatakan, pengebirian kewenangan ini lebih berunsur politis. Ia menilai, selama ini baik DPR maupun pemerintah banyak dirugikan oleh keputusan MK. Karena itu, ia mengatakan bahwa pembentukan undang--undang ini sebagai pengontrolan terhadap MK. "Ini ada persekongkolan antara DPR dan pemerintah untuk mengontrol MK," ujarnya.
Upaya pengontrolan MK itu, lanjutnya, juga dapat dilihat dari masuknya unsur DPR dalam Majelis Kehormatan MK. "Kalau MK harus dikontrol kami setuju. Tapi tidak oleh lembaga politik seperti DPR," ujarnya. Pengontrolan MK oleh DPR menurutnya salah kaprah. Ia mengatakan, dengan masuknya unsur DPR dalam Majelis Kehormatan MK sama saja dengan menjerumuskan MK ke dalam tarik menarik kepentingan politik.
Menurutnya, pengontrolan DPR atas MK cukup seperti apa yang sudah dilakukan selama ini. "Cukup seperti sekarang dalam hubungan mitra kerja. Kalau soal kode etik itu bukan ranahnya DPR," ujarnya.
Soal pengajuan judicial review ini, Febri mengatakan tengah mengkaji dan mempersiapkan materi undang-undang ini. "Sedang kami pelajari secara mendalam," ujarnya. Selain itu, ia juga mengatakan tengah menggalang sejumlah dukungan dari berbagai pihak, tak hanya anggota-anggota LSM. "Yang pasti kami juga akan coba ajak para akademisi dan pakar di bidang hukum tata negara," jelasnya.
FEBRIYAN