TEMPO Interaktif, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum (KPU) menantang Mahkamah Konstitusi (MK) membuka enam belas surat penjelasan keputusan penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum. Anggota KPU I Gusti Putu Artha mengatakan lembaganya sangat dirugikan karena sampai sekarang MK tidak membuka surat-surat palsu itu. "Selama ini kami terus dipojokkan, seolah kami yang bersalah," kata Putu kepada Tempo, Kamis, 23 Juni 2011.
Sebelumnya, Ketua Mahkamah Mahfud MD melaporkan bekas anggota KPU Andi Nurpati Baharuddin ke kepolisian. Andi diduga memalsukan surat keputusan MK yang menyebabkan calon anggota DPR dari Partai Hati Nurani Rakyat, Dewi Yasin Limpo, terpilih. Setelah surat itu dikoreksi, Dewi batal melenggang ke Senayan. Belakangan, MK menyatakan ada enam belas surat yang dipalsukan.
Putu menilai, sumber masalah surat palsu lebih banyak di MK dibanding di KPU. Salah satu penyebabnya, banyak keputusan MK tak jelas, bahkan cacat administratif atau cacat hukum. Sehingga, KPU harus meminta penjelasan MK. "Peluang pemalsuan muncul saat kami meminta penjelasan," ujar Putu.
Putu mencontohkan, MK pernah mengeluarkan surat No. 113/PAN.MK/VIII/2009 tertanggal 17 Agustus 2009 yang mengakui kesalahan pengetikan dalam amar putusan. Nama Hasan bin Abdullah tertulis Husin bin Abdullah. "Kami tak bisa mengeksekusi putusan Mahkamah kalau ada cacat seperti itu," kata Putu.
Contoh lain, pernah terjadi keanehan, keputusan MK yang dikirim ke KPU berbeda dengan amar putusan yang dimasukkan dalam situs resmi MK. Putu menduga, ada banyak surat MK dipalsukan. Indikatornya, MK mengadili lebih dari 700 kasus perselihan hasil pemilihan. Banyaknya kasus yang harus diselesaikan dalam waktu cepat, kata Putu, sangat membuka celah kesalahan dan penipuan.
Menurut Putu, lembaganya telah melakukan penyelidikan internal terhadap pemalsuan surat MK. Hasilnya, tak ditemukan kesalahan pada anggota KPU atau staf Sekretariat Jenderal KPU. "Kami mau nyaman bekerja. Karena itu, MK harus buka surat palsu itu," kata Putu.
STEFANUS TEGUH PRAMONO