TEMPO Interaktif, Jakarta - Anggota Komisi Pertahanan DPR, Effendy Choirie, menilai pembahasan undang-undang yang terkait keamanan negara sering terhambat karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono takut dengan tekanan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Banyak rancangan undang-undang (RUU) yang sampai saat ini belum masuk ke Komisi I, ia menduga karena faktor tersebut.
"Negara gamang karena banyak pasal di dalam rancangan undang-undang yang dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM)," katanya di seminar "Menuju Kerangka Hukum Pemberantasan Terorisme yang Komprehensif" di Jakarta, Kamis 23 Juni 2011.
Karena takut membuat aturan yang bisa dinilai melanggar HAM, banyak rencana penyusunan rancangan undang-undang terkait dengan pertahanan dan keamanan tidak mengalami kemajuan. Effendy mengatakan, pemerintah, juga DPR dan masyarakat, gamang menghadapi LSM. Salah satu contohnya saat penyusunan Undang-Undang Rahasia Negara.
Saat itu pembahasan RUU sudah selesai dan akan diputuskan untuk ditetapkan. Tapi, beberapa kalangan LSM menolak dan menyampaikan penolakan langsung kepada Presiden. "Presiden kita takut. Akhirnya batal. Kita tak punya undang-undang rahasia negara," katanya.
Hal yang sama terjadi pada revisi UU Antiterorisme yang saat ini sedang dibahas di Dewan. Effendy mengatakan ada kekhawatiran ketika melanjutkan pembahasan karena ada pasal-pasal yang disorot oleh LSM yang bisa melanggar HAM.
Direktur Eksekutif lembaga peneliti radikalisme Lazuardi Birru, Dyah Madya Ruth, mengatakan meski ratusan pelaku teroris sudah dijatuhi hukuman setelah ada UU Antiterorisme, penegakan hukumnya masih lemah. "Ada beberapa hambatan krusial, sehingga diperlukan perbaikan dalam hukum acara pidana," katanya.
Salah satu hambatan itu misalnya singkatnya masa penahanan yang hanya 7 x 24 jam dan masa penahanan enam bulan. Dyah mengatakan memang banyak pasal dalam revisi ini yang dinilainya masih sumir dan perlu pembahasan lebih lanjut.
KARTIKA CANDRA