TEMPO Interaktif, Jakarta - Bisakah jurnalistik dan puisi disatukan? Bagi seorang Linda Djalil, dua kutub yang mempunyai pakem berbeda itu sangat bisa dilakukan. Linda yang pernah jadi wartawan Tempo dan Gatra ini menulis puisi dengan gaya seorang wartawan.
Seratusan lebih puisi Linda dengan gaya reportase dibukukan dan diberi judul Cintaku Lewat Kripik Balado. Buku yang diterbitkan penerbit Kompas itu diluncurkan pada Kamis 23 Juni 2011 sore, di Pusat Dokumentasi Sastera HB Jassin, Komplek Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Hadir dalam acara tersebut di antaranya Dewi Motik, Jajang C. Noor, Taufik Ismail, Indro Warkop, Rizal Ramli, serta Titiek Puspa.
Apa yang membuat Linda mengambil gaya reportase dalam menulis puisi? "Menulis laporan jurnalistik sepanjang hidup saya dengan tuntutan mutlak akurasi, ruang, dan waktu yang harus ditaati, membuat saya jenuh. Maka, berlarilah saya kepada puisi," kata Linda dalam pengantarnya.
Sesungguhnya puisi-puisi Linda adalah puisi yang dipostingnya dalam blog Kompasiana. Selama dua tahun, dia rajin menulis di situs bebas para blogger tersebut. Meski puisi-puisi yang ditulisnya baru dua tahun, Linda mengaku telah menulis puisi sejak lama. Waktu kecil dia rajin menulis puisi dan mengirimkannya ke majalah Kuncung. "Dari sono-nya sudah senang menulis puisi, jadi saya kembali ke asal," ujar Linda.
Meski bergaya reportase, puisi Linda tetap diramu dengan fantasi yang dipadunya dengan fakta-fakta. Salah satu puisinya berjudul Ayah, Ampera Raya Banjir Darah. Puisi itu bercerita tentang kerusuhan antar dua kelompok di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang terjadi beberapa waktu lalu. Bagaimana hasil puisi jurnalistik itu?
"Ayah, Ampera Raya banjir darah! Saat nurani manusia sudah menjadi belang-belang, saat hati nurani sudah dilumuri oleh baja besi kuat tak tersentuh kelembutan, saat jiwa bergejolak amarah tiba di ujung ubun-ubun kepala, matilah tiga nyawa sia-sia."
Taufik Ismail menilai Linda menulis tentang keluarga, respons terhadap masyarakat dan hubungan dengan Yang Maha Pencipta. "Ibarat ukiran puisi, Linda sudah jelas sosoknya, tapi perlu dipahat dan diampelas lebih lama, direnungkan lebih jauh," kata Taufik. Meski demikian, kata Taufik, ketekunan Linda patut dipuji.
Amirullah