TEMPO Interaktif, Jakarta - Pemerintah diminta selektif menyikapi tuntutan pemekaran sejumlah wilayah. Persetujuan yang tidak didasari perhitungan yang matang diyakini bakal membebani anggaran negara. “Pasti akan menjadi beban,” ujar pengamat politik Universitas Gadjah Mada, AGN Dwipayana, 24 Juni 2011.
Beban alokasi anggaran muncul lantaran pembagian DAU dan DAK ditentukan berdasarkan wilayah-wilayah otonom. Bahkan, tidak jarang pemekaran tersebut juga ikut mempengaruhi anggaran bagi stuktur kepemimpinan teritori seperti Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI.
Kritik atas kegagalan otonomi daerah dilontarkan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono saat bertemu dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, kemarin. Menurut dia, selama ini pemekaran wilayah banyak yang mengalami masalah dan tidak memberikan manfaat yang menggembirakan.
Namun, gambaran itu tidak dengan sendirinya menghentikan desakan untuk membuat wilayah otonom baru. Pemerintah pusat kini tengah memproses permohonan dari 178 berkas wilayah otonom baru--yang 33 di antaranya usulan menjadi provinsi baru.
Menurut Dwipayana, kegagalan pemekaran wilayah terjadi karena logika yang digunakan berangkat dari logika elite penguasa. Para elite inilah yang secara politis mendesak proses pemekaran dengan berbagai alasan, seperti ketimpangan distribusi ekonomi dan argumen tentang politik identitas.
Akibat perilaku tersebut, kata Dwipayana, konsep pembangunan daerah otonom tidak lagi berorientasi pada pelayanan kepentingan publik, melainkan hanya kepentingan elite penguasa. “Pemekaran pada akhirnya terjebak pada soal itu, banyak dialokasikan untuk kepentingan elitenya,” ujarnya.
Tidak hanya itu, kepala daerah juga banyak yang gagal menerapkan pola pembangunan yang berbasis kebutuhan masyarakat setempat. “Tidak jarang pembangunan infrastuktur suatu wilayah dikerjakan hanya untuk mengejar image melalui proyek-proyek mercusuar,” ujarnya.
Potret kelam tampak dari program pemerintah Kabupaten Supriori, Papua. Daerah pemekaran Kabupaten Biak Numpor itu kini memiliki sebuah pusat perbelanjaan sekelas mal di perkotaan. “Padahal, pelayanan publik di sana masih buruk dan pejabatnya juga banyak tinggal di Biak,” ujarnya.
Kegagalan daerah otonomi juga disebabkan faktor regulasi. Begitupun dengan logika pembagian anggaran. “Logika pembagian Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) selama ini diperlakukan sama dengan daerah yang telah lebih dulu ada,” ujarnya.
Namun, kegagalan itu tidak sepenuhnya jadi tanggung-jawab daerah otonom. Pemerintah pusat juga dinilai memiliki saham kesalahan yang tidak kecil. “Asistensi pemerintah pusat terhadap daerah baru masih lemah sehingga kegagalan ini merupakan kegagalan pemerintah pusat juga,” ujar Dwipayana.
Menurut Dwipayana, pemekaran wilayah mestinya dilakukan secara bertahap. Sebelum dinyatakan sebagai daerah otonom, daerah tersebut mestinya menjalani proses transisi sebagai kota administratif. “Kalau daerah itu gagal memfasilitasi layanan publik yang baik, maka jangan dipaksakan,” ujarnya.
Guna menghindari kegagalan serupa, kata Dwipayana, para kepala daerah dituntut untuk mendistribusikan sumber-sumber perekonomian secara adil, khususnya di daerah-daerah pinggiran wilayah tersebut. “Tanpa itu, tuntutan pemekaran akan terus berlangsung,” katanya.
RIKY FERDIANTO