TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Keberagaman etnis bersatu dalam harmoni. Itulah gambaran dari foto-foto yang dipamerkan dalam pameran tunggal Ririt Yunia, 32 tahun, mahasiswi S3 jurusan Program Studi Kajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada.
Mengambil suasana harmoni tiga etnis, yaitu Tionghoa, Melayu, dan Dayak di Singkawang, Kalimantan Barat, ia memotret kehidupan dan perayaan hari-hari besar Tionghoa. Perayaan Cap Go Meh dan Imlek di Pontianak dan Singkawang dapat bercerita banyak. Selain bersama-sama meramaikan perayaan hari besar Tinghoa, ketiga etnis itu sehari-hari hidup berdampingan dengan damai.
Meskipun mengaku bukan fotografer profesional, Ririt justru memilih foto jurnalistik sebagai kajian disertasi S3-nya. Ada sebanyak 47 foto yang dipamerkan. Jumlah itu hanyalah sebagian dari foto-fotonya yang dimuat dalam bukunya yang menyuguhkan perpaduan foto dan narasi yang komplit. Dicetak secara ekselusif, buku itu menggambarkan keharmonisan kehidupan di Singkawang.
“Risetnya selama dua tahun, tetapi nulisnya hanya dua minggu saja,” kata Ririt, Minggu, 26 Juni 2011.
Dalam karyanya, terlihat bagaimana warga suku Dayak ikut merayakan Cap Go Meh. Dengan pakaian adat suku Dayak, para pemuda Dayak menampilkan tarian-tarian mereka. Adat Dayak muncul di acara itu bukan untuk menegasikan lainnya, tetapi menjadi bagian penting dalam sebuah struktur sosial. Dayak, dalam rekaman kamera Ririt, hadir dalam kebersamaan dan keberagaman.
Tak hanya tiga etnis yang direkam olehnya, ada suku Madura yang berbaur bersama merayakan Cap Go Meh. Bahkan memasang spanduk besar bertuliskan "Pamekasan (Madura)-Singkawang Bersatu".
Pekong, tempat ibadah orang Tionghoa di lautan pun menjadi bidikan yang indah. Terlihat anggun dalam foto berukuran A1 di atas kertas laster cetak digital itu. Pekong di tengah laut Kakap dapat dijangkau dengan perahu selama 10 menit.
Dalam foto lainnya, terbidik para perempuan berjilbab yang mayoritas merupakan suku Melayu juga tampak menikmati Festival Cap Go Meh. Pemuda dan pemudi Melayu juga ikut dalam karnaval Imlek. Tampak jelas harmoni di kota yang mayoritas beretnis Tionghoa tersebut.
Tak hanya dalam perayaan, foto bidikan Ririt juga merekam peribadahan, pekerjaan, dan kehidupan sehari-hari pembauran multietnis di Kalimantan Barat itu. Bahkan dalam foto karyanya itu tergambar jelas bagaimana kehidupan etnis Tionghoa yang tidak sungkan bekerja keras dalam suatu industri menjadi pekerja kasar.
“Kesannya kalau orang Cina atau Tionghoa kan kalau di Jawa sebagai orang kaya dan juragan. Di sana (Singkawang), banyak yang menjadi pekerja kasar dan majikannya justru orang Dayak atau Melayu,” kata Ririt.
Sebelumnya, dalam pembukaan pameran dan launching buku berjudul Harmonisasi dalam Keanekaragaman, Potret Etnisitas di Kalimantan Barat itu dilengkapi dengan diskusi di Bentara Budaya Yogyakarta, Sabtu, 25 Juni 2011.
Bakdi Sumanto, budayawan Yogyakarta, menyatakan peristiwa budaya Tionghoa yang direkam oleh Ririt masih terasa baru. Sebab, selama 32 tahun, budaya Tionghoa tidak bisa ditampilkan. Saat Gus Dur menjadi presiden, kebudayaan Tionghoa baru bisa dimunculkan dan dinikmati oleh publik secara umum.
“Semua kegiatan yang berhubungan dengan jagat Tionghoa dilarang termasuk Cap Go Meh. Alasannya jagat pikir Cina identik dengan komunisme,” kata Bakdi.
Ia berkisah di Yogyakarta sebelum kekuasaan Soeharto, harmonisasi seperti di Singkawang juga terjadi. Saat ia menikah di gereja, yang datang waktu itu adalah para tetangganya yang 99 persen muslim dan bersalaman dan foto dengan Romo Dick Hartoko. Namun, saat Menteri Agama dijabat oleh Alamsyah Ratu Prawiranegara, ia membuat peraturan agar orang yang tidak seagama tidak boleh hadir dalam upacara keagamaan lain.
“Maka muncullah istilah SARA (suku, agama, ras) yang intinya membangkitkan kewaspadaan orang-per orang yang tidak sama, Soeharto telah mempraktikkan politik pecah belah,” kata dia.
MUH SYAIFULLAH