TEMPO Interaktif, Bandung - Coba bayangkan sejenak suasana di padang golf. Di atas hamparan rumput hijau yang membentang seperti karpet, bola-bola kayu kecilnya terlihat seperti sebaran titik putih dari kejauhan. Kolam-kolam pasir dan danau buatan menambah kesan sebuah taman besar yang indah nan mewah.
Tapi, bukan gambaran utuh seperti itu yang diangkat pada karya instalasi berjudul "Hole in One, in One Hole". Meizan Diandra, pembuatnya, hanya mengambil sepotong lahan di sekitar lubang bola lengkap dengan tiang dan benderanya. Semua benda tiruan itu lalu dimasukkan ke bak kereta dorong beroda tunggal. Ia seperti ingin memfokuskan masalah tentang lapangan golf yang mudah dibuat di mana saja karena tanah penduduk bisa dihargai murah.
Beragam persoalan manusia, lingkungan, dan teknologi ramai-ramai diusung 31 seniman yang ikut dalam pameran "Contemporary Landscape" di Lawangwangi Art & Science Estate, Bandung, 2-23 Juli 2011. Mereka mengangkat kerangka gambar pemandangan alam dari sisi lain, antara lain lewat lukisan, foto, instalasi, juga film animasi. Garapan temanya ditampilkan secara ringan hingga serius, mengajak ke persoalan hidup sehari-hari. Sebagian karya mengajak terbang menuju alam khayali.
Bergaya kartun dengan warna-warni kinclong, lukisan "In My Atmoshpere" karya Amalia Kartika Sari tampil riang. Dunianya seakan-akan masih punya tempat untuk harapan dan keindahan. Lihat saja ranting berdaun hijau yang masih tumbuh dari cabang pohon baru dari sisi batang besarnya yang telah ditebang, atau salju yang mencair di puncak gunung dan mengalir ke sungai berwarna biru.
Adapun Maradita Sutantio, yang masih setia dengan seni seratnya, menyulam kondisi sesaknya bangunan kota dalam lingkaran sulam (hoop) yang berukuran garis tengah hampir satu meter. Selain itu, beberapa seniman ada yang secara harfiah menyalin alam, seperti peristiwa kebakaran hutan, juga panorama bentang alam, seperti di lukisan realis bergaya Hindia Molek (Mooi Indie).
Dari balik lensa kamera, karya foto Rama Surya dan Henrycus Sunargo merekam pemandangan kota dengan fokus obyek utama berupa beton dan dinding keras gedung. Rama, misalnya, menyandingkan kesamaan dari dua foto hitam putihnya dari sisi Kota Jakarta dengan permukiman sebuah wilayah di Provinsi Guizhou, Cina.
Keduanya punya deretan pilar beton untuk moda transportasi yang belum terwujud. Tema pemandangan, kata kurator Asmudjo Irianto, sebenarnya sudah tak punya tempat di zaman seni rupa modern abad ke-20. Puncak kejayaan lukisan pemandangan telah lewat seabad silam. Obyeknya yang tampil indah dengan teknik realis dianggap membuat pesona lukisan pemandangan gampang diserap masyarakat awam.
Hal itu bertentangan dengan jargon seni rupa modern yang bukan untuk orang biasa, melainkan bagi mereka yang memiliki kemauan dan waktu berlebih untuk mempelajari dan memahaminya. "Karena itu, berdasarkan kacamata seni lukis modern, lukisan pemandangan alam dianggap rendah," kata Dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB itu dalam teks kurasinya.
Di era seni rupa kontemporer ini, Asmudjo mengangkat tema pemandangan yang tak hanya berkaitan dengan sejarah dan wacana seni lukis landskap. "Namun, akan mengacu pada persoalan alam dan seni rupa yang lebih luas," ujarnya. Masalahnya berkutat pada situasi dan kondisi manusia dengan lingkungannya.
ANWAR SISWADI