TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Dagu lelaki itu ditumbuhi jenggot lebat. Dengan sepasang sayap di kedua lengannya, dia terbang di angkasa. Sorot matanya tajam memandang daratan. Gagah sekaligus garang. Namun, di balik penampilan sangarnya, Daedarus (atau dikenal juga dengan Daedalus), manusia pertama yang berusaha terbang dalam mitologi Yunani, sedang berduka. Putra kesayangannya, Ikarus, gagal melayang dan jatuh. "Sebenarnya dia sedang bersedih," kata Timbul Raharjo tentang patung buatannya itu.
Terbuat dari rangkaian ribuan paku, Daedarus adalah karya Timbul yang juga dipamerkan bersama karya 77 perupa dalam Pameran Seni Rupa Festival Kesenian Yogyakarta ke-23 di galeri Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada 28 Juni hingga 5 Juli 2011. Bermacam karya seni tradisional dan kontemporer dipamerkan dalam kesempatan itu, mulai dari lukisan, patung, instalasi, hingga keris serta wayang.
Dalam pameran itu, Daedarus bukan satu-satunya karya yang berbahan utama paku. Andhika "Thukul" N. H. juga menggunakan material serupa dalam karya berjudul Recycle Monich. Andhika menancapkan paku-paku beton pada permukaan aluminium hingga membentuk lingkaran berdiameter 100 sentimeter. Ribuan paku itu disusun hingga menghasilkan persepsi gambar berbentuk lukisan Monalisa.
Timbul menjelaskan bahan baku paku bisa memperkuat karakter suatu karya. Sementara, Andhika hanya menancapkan paku-paku pada selembar aluminium, Timbul menyusun paku-pakunya dengan teknik pengelasan karbit. "Butuh waktu tiga bulan membuatnya," katanya.
Bagi Timbul, secara filosofis, paku adalah barang remeh-temeh yang akrab dengan kehidupan sehari-hari kita. Meski demikian, fungsinya cukup berarti, di antaranya untuk membuat rumah hingga sekadar cantolan baju. "Bentuknya boleh kecil, tapi fungsinya cukup besar," katanya. Ide itu kemudian ia tuangkan dalam ukuran patung karyanya. Paku-paku yang hanya sepanjang 10 sentimeter itu ia susun menjadi Daedarus setinggi dua meter.
Selain karya Timbul, karya tiga dimensi yang dipamerkan dalam pameran itu adalah patung perunggu berjudul Pekerja karya Dunadi dan Introspeksi karya Dian Zalkoto, yang berbahan stoneware. Juga ada instalasi berukuran mini berbahan mendong dan gedebog pisang karya Apri Susanto berjudul Tarian Perang. Selain itu, ada lima bilah keris buatan Empu Sungkowo yang dipamerkan.
Sejumlah lukisan juga dipajang dalam pameran tersebut. Salah satunya lukisan wayang berjudul Minakjinggo Rangsang karya Subandi. Lukisan itu menggambarkan usaha penguasa Blambangan, Prabu Minakjinggo, untuk merebut hati Dewi Sekartaji. Namun, wayang tak cuma hadir dalam bentuk lukisan. Sunarto bahkan menghadirkan wayang kulit sebenarnya. Berjudul Bala Kiwo Bala Tengen, Sunarto menghadirkan wayang berwujud Semar-Bagong dan Togog-Mbilung dalam posisi berhadapan.
Ketua Pameran Seni Rupa Festival Kesenian Yogyakarta Akhmad Nizam mengatakan karya Sunarto merupakan kisah tentang penggembala kebaikan dan kejahatan. Kedua sifat itu digambarkan dalam dua sosok wayang berhadapan. Sunarto, kata dia, sengaja hanya menghadirkan dua sosok Punakawan: Semar dan Bagong. Sesuai dengan manuskrip kuno yang didapat Sunarto tentang kisah pewayangan Jawa Timuran, tokoh Punakawan hanya ada dua, tanpa Gareng dan Petruk.
Tak seperti tahun sebelumnya, pameran seni rupa festival kali ini digelar di galeri ISI Yogyakarta. Lokasinya di Sewon, Bantul, dan cukup jauh dari ingar-bingar pusat Kota Yogyakarta. "Dulu-dulu memang digelar di Benteng Vredeburg (di titik nol kilometer Kota Yogyakarta)," katanya tanpa menjelaskan alasan pemindahan lokasi itu.
Meski lokasinya di area kampus, peserta festival tak hanya berasal dari mahasiswa ataupun alumnus ISI. Sebelumnya, ujar dia, ada 300 calon peserta yang mendaftar. Dalam proses seleksi, hanya seratusan karya yang lolos. "Satu seniman ada yang menyumbangkan dua karya," katanya.
ANANG ZAKARIA