TEMPO Interaktif, Denpasar - Lima perupa yang tergabung dalam Himpunan Pelukis Sanur (HPS) menggelar pameran untuk mengkritik keberadaan salah satu pusat lokasi pariwisata di Bali itu. Mereka adalah Ni Nyoman Sani, Ida Bagus Putu Purwa, Ida Bagus Putu Gede Sutama, I Ketut Teja Astawa, dan Wayan Paramartha.
Dalam pameran bertajuk "Our Testimony" yang berlangsung di Galeri Santrian 10 Juli hingga September itu, para pelukis diberi kebebasan melihat sisi-sisi kehidupan Sanur. "Kebetulan semua pelukis lahir dan besar di sini sehingga secara emosional sangat dekat dengan obyek mereka," kata I Wayan Seriyoga Partha, kurator pameran ini.
Kelima pelukis memiliki gaya masing-masing. Nyoman Sani, yang dikenal dekat dengan tema perempuan dan gaya hidup, kali ini menampilkan karya fotografi. Ia mengambil obyek-obyek yang menampilkan kontras antara Sanur di masa kecilnya dengan Sanur sekarang.
Itu terlihat dari gambaran anak-anak yang "terpaksa" bermain sepak bola di pasir pantai karena tanah lapang yang sudah hilang. Ada juga foto megahnya gedung restoran siap saji yang didampingkan dengan warung nasi tradisional di pinggir jalan. "Penjualnya sudah puluhan tahun bertahan di tempat itu," ujarnya.
Ida Bagus Putu Purwa menampilkan eksplorasinya akan bahasa tubuh yang menyimbolkan ketertindasan dan di sisi lain keinginan untuk hidup bebas. Hal itu merupakan ekspresinya atas kondisi Sanur yang adat istiadatnya masih kuat dipertahankan, tapi sebagai seniman dia ingin hidup bebas. Ketatnya tradisi itu semakin terasa ketika dia ditunjuk sebagai kelian (pengurus) adat yang dipilih dengan penunjukkan oleh warga, padahal dia sendiri merasa belum mampu memangku jabatan itu.
Yang juga menarik adalah karya Ida Bagus Putu Gede Sutama yang mengolah barang-barang bekas menjadi karya instalasi. Misalnya, kayu-kayu penunjuk arah di perahu nelayan yang sudah dibuang kemudian diubah menjadi karya patung. Sutama kemudian menorehkan puisi di atasnya untuk memunculkan pemaknaan baru atas barang itu.
Adapun Teja Astawa tetap asyik dengan adaptasi wayang dalam bentuk yang sudah didekonstruksi. Ia pun memilih tema kontemporer seperti gelombang tsunami yang bisa menenggelamkan wilayah di tepi laut seperti Sanur. Sementara itu, Wayan Paramartha menunjukkan lukisan satiris mengenai apa yang akan terjadi pada Sanur di masa depan kala pariwisata terus menelan kehidupan sosial budaya wilayah ini. Itu disimbolkan dengan penampilan seorang penari Legong yang tampak tertegun menghadapi bangunan pencakar langit dan lalu lintas yang sangat padat.
Berbagai obyek serta bahasa simbol yang digunakan merupakan pandangan kritis terhadap keberadaan Sanur. Sebagian menyiratkan kecemasan dan harapan agar situasi itu tidak terjadi. "Kami tetap ingin Sanur seperti di masa lalu di mana seni dan budaya mendapat tempat yang terhormat," kata Teja Astawa.
ROFIQI HASAN