TEMPO Interaktif, Jakarta - Anggota Komisi Hukum DPR, Nudirman Munir, menilai kasus Prita Mulyasari merupakan cerminan bahwa sistem hukum Indonesia masih sama seperti di zaman penjajahan Belanda. "Waktu zaman Belanda, penegak hukum nggak pernah salah, Belanda nggak pernah salah, yang salah selalu inlanders (pribumi)," ujarnya saat Rapat Komisi untuk mendengarkan pengaduan Prita Mulyasari di Gedung DPR, Selasa, 12 Juli 2011.
Prita Mulyasari melaporkan nasibnya kepada anggota Dewan. Didampingi kuasa hukum dan suaminya, Prita meminta DPR menelusuri kejanggalan putusan Mahkamah Agung yang memvonisnya 6 bulan penjara dengan satu tahun masa percobaan.
MA menghukum ibu tiga anak ini bersalah karena mencemarkan nama baik Rumah Sakit Omni Internasional, Tangerang, melalui surat elektronik kepada teman-temannya. Prita dijerat Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dalam penjelasannya, pengacara Prita, Slamet Yuwono, mengatakan Kejaksaan Agung dan MA harus bertanggung jawab terhadap ketidakpastian dan ketidakadilan hukum terhadap kliennya itu. Ia mengatakan bahwa Kejaksaan Agung telah lalai membiarkan jaksa penuntut mengajukan kasasi. Padahal, dalam Pasal 244 KUHAP disebutkan bahwa keputusan bebas murni tak dapat dikasasikan. Prita sendiri telah dinyatakan tak bersalah oleh Pengadilan Negeri Tangerang dalam kasus ini.
Lucunya, kasasi ini diamini oleh Mahkamah. Putusan ini juga bertentangan dengan putusan sebelumnya dalam gugatan perdata RS Omni terhadap Prita. Dalam putusan tersebut, MA berkesimpulan apa yang dilakukan Prita bukan sebagai pencemaran nama baik dan hanya sebuah keluhan.
Nudirman mengatakan apa yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung dan MA adalah penyalahgunaan wewenang. Ia menuding hal ini memang sering terjadi. "Seperti ada SOP di kejaksaan kalau bebas murni itu boleh dikasasi, ini kan melanggar KUHAP," ujarnya. Ia pun menilai selama ini penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum kerap terjadi karena tak adanya kejelasan hukuman bagi pelanggar KUHAP ini. "Kejaksaan itu seperti Belanda, tidak pernah salah," tambahnya.
Untuk mencegah kasus seperti Prita terulang kembali, ia pun mendesak pemerintah segera menyerahkan revisi KUHAP kepada DPR. Ia menuding pemerintah sengaja mengulur-ulur waktu untuk menyerahkan revisi KUHAP kepada Dewan.
Usulan Nudirman ini disambut oleh anggota Komisi Hukum dari Fraksi Gerindra, Rhandoko. Ia bahkan mengusulkan KUHAP menjadi usul inisiatif DPR. "Kalau pemerintah tak juga menyerahkan revisi KUHAP sampai masa sidang besok, lebih baik ini kita ambil supaya menjadi inisiatif Komisi Hukum," ujarnya.
FEBRIYAN