TEMPO Interaktif, Yogyakarta- Di atas sebuah meja bundar tersaji 4 piring kosong tanpa hidangan makanan. Namun, di atas permukaan porselen mengkilap itu terlukis ikan teri dalam berbagai bentuk, dari seekor di atas daun waru warna merah hingga beberapa ekor yang terangkai di atas nampan. Itulah salah satu karya perupa Caroline Rika Winata berjudul Penghargaan untuk Ikan Teri dalam pameran bersama bertajuk Beastly di Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta, 7-30 Juli 2011.
Teri, ikan kecil berukuran tak lebih besar dari kelingking, sering menjadi idiom verbal untuk mengungkapkan sesuatu yang remeh temeh. Kelas teri, misalnya, adalah sebuah ungkapan tentang kelas terkecil yang jauh di bawah standar. “Tapi, jangan salah, ikan teri justru banyak gizinya,” kata kurator pameran Heru Hikayat memberikan penilaian pada karya Rika Winata.
Beastly adalah sebuah pameran seni rupa, baik 2 dan 3 dimensi maupun puisi dan sastra, yang diikuti 29 seniman dari 3 generasi, tahun 80-an, 90-an, hingga 2000-an. Mereka, antara lain, Arya Pandjalu, Agung Kurniawan, Beatrix Hendriani Kaswara, Eko Nugroho, Laksmi Shitaresmi, Popok Tri Wahyudi, S. Teddy D., Terra Bajraghosa, dan Ugo Untoro.
Beastly, sebuah kata dari bahasa Inggris yang berarti jijik, merupakan upaya menumbuhkan kembali penghargaan pada binatang, ternak, ataupun liar. “Ingat! Dulu hewan pernah dianggap tinggi (derajatnya) oleh manusia,” kata Heru melanjutkan.
Hubungan manusia dan binatang berlangsung sejak awal peradaban. Menurut Heru, hubungan itu adalah kenyataan penting dalam banyak bentuk kebudayaan dunia. Namun, kini hubungan itu perlahan mulai hilang. Seperti tertuang dalam karya Rika Winata, binatang (teri) tak lebih dari sekedar santapan pelengkap nasi.
Salah satu peserta pameran, Kelompok Ruang Rupa, menampilkan betapa eratnya hubungan itu. Dalam karya mereka, The Beast of The Beast, yang berada di sudut ruang pameran, mereka menempelkan kliping koran dan majalah, cetakan syair lagu beserta 2 televisi mini yang menunjukkan nama binatang yang membentuk idiom kalimat untuk menjelaskan sifat dan karakter manusia. Misalnya, kucing garong, ayam sayur, sapi perah, kupu-kupu malam, atau tikus-tikus kantor yang merupakan judul lagu Iwan Fals.
Pada karya yang lain, nuansa kehancuran hubungan antara manusia dan hewan begitu kental terasa. Karya Pandjalu berjudul Chitcitcuit, misalnya, menampilkan boneka-boneka burung yang terkapar mati di atas sebuah meja di depan pintu masuk galeri.
Atau, karya Terra Bajraghosa berjudul The Real Beast is Human. Karya itu berupa game, program permainan dalam komputer, yang menyediakan 2 pilihan: Go Hunt dan No Hunt. Jika kita meng-klik Go Hunt, maka game berlanjut dan mengajak untuk berburu rusa di hutan. Sebaliknya, jika memilih No Hunt, permainan akan berlanjut tanpa perburuan. “Mereka (yang memilih No Hunt) akan bertemu dengan binatangnya di kebun binatang,” kata Heru.
Dari sini, Heru mengajak kembali merenungkan sebuah jarak antara manusia dan binatang di kebun binatang. Hubungan antara 2 makhluk hidup itu hanya berlangsung searah, tak seperti sebuah hubungan ideal yang mensyaratkan 2 arah. Manusia memandang dengan penuh makna. Adapun binatang sebaliknya, kosong tanpa makna karena tercerabut dari habitat aslinya.
Sara Nuytemans dalam karyanya berjudul Softly Reflected menawarkan harmonisasi hubungan itu. Berbekal televisi LCD berlayar 21 inci yang terhubung pada sebuah boneka kucing dengan seutas kabel, di layar kaca tergambar seorang perempuan bermalas-malasan. Dia benamkan kepala di atas meja. Sekilas tak ada yang berbeda dari gambar itu. Tapi, coba belai boneka kucing, segera sosok wanita itu akan menggeliat manja.
ANANG ZAKARIA