TEMPO Interaktif, Jakarta - Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj mengecam tindakan Pondok Pesantren Umar bin Khattab di Bima, Nusa Tenggara Barat, yang menghalang-halangi polisi masuk ke dalam pesantren untuk mengusut kasus peledakan bom. Ia menegaskan polisi seharusnya diizinkan masuk ke dalam pesantren karena ada peristiwa peledakan. Ia juga memastikan pesantren itu bukan pesantren binaan Nahdatul Ulama.
"Yang di Bima itu bukan pesantren NU," katanya di Jakarta, Rabu 13 Juli 2011. Said mengatakan pesantren tidak seharusnya melakukan tindakan kekerasan. Satu-satunya yang memiliki hak untuk itu adalah aparat penegak hukum.
"Kalau dihalang-halangi, itu namanya salah di mata negara dan di mata agama," katanya. Ledakan yang berasal dari sebuah bom rakitan terjadi di Pondok Pesantren Umar Bin Khattab di Desa Sanolo, Kecamatan Bolo, Bima, Nusa Tenggara Barat, Senin 11 Juli 2011 lalu.
Akibat ledakan ini, satu orang tewas. Polisi menduga bom itu ditujukan untuk menyerang polisi. Tapi, ketika polisi hendak masuk ke dalam pondok untuk memeriksa, pihak pesantren melarang dan membawa senjata tajam, seperti pedang.
Said mengatakan saat ini memang ada kecenderungan pesantren menjadi tempat berkembangnya kelompok radikal, seperti Pesantren Ngruki di Solo dan Al-Zaytun di Cirebon. Tapi, menurutnya, mayoritas pesantren tidak seperti itu. Justru pesantren-pesantren di Indonesia umumnya berada di bawah binaan Nahdatul Ulama.
KARTIKA CANDRA