TEMPO Interaktif, Jakarta - Industri makanan dan minuman menyarankan pemerintah untuk mengizinkan impor bahan baku pada pabrik gula rafinasi yang sudah memiliki kontrak penyaluran untuk kalangan industri. Ini untuk mengurangi kemungkinan kebocoran gula rafinasi di pasar rumah tangga.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia, Franky Sibarani, mengatakan rembesan gula rafinasi terjadi lantaran industri kecil dan menengah tak mampu mengakses bahan baku ke pabrik. "Sehingga harus melalui distribusi pertama, kedua sampai pengecer," katanya.
Sebelumnya, Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (Aptri) mengeluhkan maraknya peredaran gula rafinasi yang sudah mengganggu pasar konsumen untuk konsumsi rumah tangga. Sehingga, gula petani tidak laku di pasar. Akibatnya harga lelang gula jatuh.
Menurut Franky, selama ini izin impor bahan baku gula rafinasi bukan berdasar kontrak, melainkan dari kapasitas terpasang. Maka, bisa jadi produksi gula rafinasi lebih banyak ketimbang kebutuhan industri. Kebutuhan gula rafinasi untuk industri kecil dan rumah tangga mencapai 600 ribu ton.
Lagipula, pedagang merasa lebih untung menjual gula rafinasi yang harganya lebih murah ketimbang gula kristal putih. Sehingga, wajar saja bila terjadi perembesan. Namun, kata Franky, jika kontrak penyaluran sudah pasti, gula rafinasi bakal tersalurkan pada pengguna yang tepat.
Jadi, meskipun kelak ternyata permintaan dari kalangan industri terhadap gula rafinasi lebih besar daripada produksinya, kata Franky, "Industri kecil bisa saja diberi izin menggunakan gula kristal putih sebagai bahan baku."
EKA UTAMI APRILIA