TEMPO Interaktif, Jakarta - Pemerintah akan mempertimbangkan vaksin Haemophilus influenzae type B (HIB) untuk dimasukkan ke dalam vaksin dasar.
Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (P2MPL) Departemen Kesehatan Tjandra Yoga Aditama mengatakan ada tiga vaksin baru yang menjadi pertimbangan pemerintah. Tiga vaksin itu adalah vaksin HIB, Pneumococcus, dan Rotavirus.
“Kemungkinan yang HIB, tapi itu juga masih belum tahu. Masih kami timbang-timbang mana yang memungkinkan,” ujar Tjandra Yoga di sela-sela konferensi pers ASIAN Vaccine Conference Asvac 2011 di Hotel Gran Melia, Jakarta, Kamis, 28 Juli 2011.
Tjandra Yoga mengatakan jika diputuskan, kemungkinan akan dipilih vaksin HIB sebagai vaksin dasar. Pertimbangannya adalah prevelensi kasusnya dan efektivitasnya yang lebih sesuai dengan kondisi orang Indonesia. Vaksin HIB ini berguna untuk mencegah bayi terkena epiglottitis, pneumonia, dan meningitis.
Pemerintah, kata Tjandra Yoga, menganggarkan tak kurang Rp 500 miliar untuk membeli vaksin dasar pada tahun ini.
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia Dr. Badriul Hegar, PhD, SpA (K) sangat mendukung jika pemerintah akan memasukkan vaksin HIB ini. Tetapi, dia mengingatkan jika masuk menjadi vaksin dasar, maka harus terus berkelanjutan.
“Kesinambungannya ini yang penting sebab kalau tidak, setelah jangka waktu tertentu, bisa muncul lagi bahaya,” ujarnya.
Oleh karena itu, dia meminta agar pemerintah juga pandai bermitra dan mencari jaringan untuk program bantuan vaksinasinya. Selama ini pemerintah telah menggratiskan vaksin dasar, yakni Hepatitis B, Polio, BCG, DPT, dan Campak.
Konferensi vaksin kali ini membahas akses, keterjangkauan, dan pertanggungjawaban pemberian vaksin. Penyelenggaraan vaksin di negara-negara Asia masih perlu ditingkatkan. Hal ini untuk menurunkan risiko kecacatan dan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin.
“Ini menjadi tantangan bagi para pakar, pembuat kebijakan, dan produsen vaksin untuk mewujudkannya,” ujar Ketua Pelaksana Konferensi Prof. Sri Rezeki S. Hadinegoro, MD, PhD.
Di negara-negara Asia masih banyak persoalan menyangkut vaksin seperti minimnya data, fasilitas, sumberdaya manusia, kurangnya peran pemerintah daerah, harga yang mahal, dan mitos salah tentang efek samping vaksin.
Pemrakarsa berdirinya ASVAC Prof. Lulu C. Bravo MD, PhD. mengatakan semua orang tanpa kecuali harus memiliki akses yang sama pada vaksin. “Idealnya vaksin harus gratis sehingga masyarakat tak terbebani,” ujarnya.
Lulu juga menyebutkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan vaksin konjugasi pneumokokus PVC untuk mencapai Tujuan Pembangunan Milenium poin 4, terutama untuk negara-negara dengan tingkat kematian bayi dan anak yang tinggi sehingga bisa mengurangi kematian hingga 2/3 pada 2015. Sayangnya negara-negara berkembang di Asia belum memasukkan vaksin PVC dalam program imunisasi nasional.
DIAN YULIASTUTI