TEMPO Interaktif, Jakarta - Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian Panggah Susanto mengatakan penurunan pertumbuhan industri plastik hingga 7,29 persen itu karena kekurangan bahan baku dalam negeri. Hal itu banyak dipengaruhi oleh tidak berproduksinya PT Politama Propindo sebagai salah satu produsen utama polipropilena (PP) atau biji plastik yang merupakan bahan baku utama industri plastik.
“Saat Politama tidak beroperasi lagi, impor polipropilena membengkak. Padahal produk itu saat ini dikenai tarif impor tinggi, 15 persen," ujarnya, Senin, 1 Agustus 2011.
Kebutuhan polipropilena dalam negeri sekitar 900 ribu ton per tahun. Sekitar 400 persen dipasok dari dalam negeri. Namun saat Politama tidak berproduksi, produksi polipropilena dalam negeri merosot menjadi hanya sekitar 200 ribu ton per tahun. “Impor melonjak dari 500 ribu ton menjadi 600-700 ribu ton,” ucapnya. Untuk itu, saat ini pemerintah sedang mengupayakan agar Politama bisa dihidupkan kembali agar mengurangi ketergantungan impor.
Hal ini menanggapi pengumuman Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan sedang pada triwulan kedua tahun ini naik sebesar 4,79 persen dibanding dengan triwulan yang sama tahun lalu. Industri manufaktur yang dimaksud di antaranya mesin listrik dan perlengkapan, logam dasar, kimia, kulit, kertas, tembakau, serta makanan dan minuman.
Industri mesin listrik dan perlengkapannya naik tertinggi sebesar 19,92 persen dan industri makanan dan minuman naik terendah sebesar 8,7 persen. Namun ada dua industri yang mengalami penurunan, yakni karet dan barang dari plastik yang turun 7,29 persen serta industri dari kayu turun 1,09 persen.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia Fajar A.D. Budiyono mengatakan industri plastik makin merana karena saat ini sedang terjadi kelangkaan pasokan polipropilena. Akibatnya, harga produk tersebut terus merangkak naik. Di kawasan Asia terkerek naik hingga sekitar US$ 70 menjadi US$ 1.790 per ton. "Sekarang pasokan langka, sehingga harganya menguat tajam. Pekan lalu PP naik US$ 70 per ton menjadi US$ 1.790,” ujarnya.
Salah satu penyebab meroketnya harga, menurutnya, karena adanya masalah teknis kilang yang cukup besar dan berpengaruh di Thailand, Taiwan, dan Timur Tengah. Masih besarnya ketergantungan industri dalam negeri pada pasokan impor, kata Fajar, memperparah kondisi tersebut. "Dengan begitu pasar kita mudah menjadi ajang spekulasi."
Namun, pemerintah optimistis pertumbuhan industri manufaktur dalam negeri akan terus berkembang. "Secara umum prospeknya meningkat," ujar Panggah.
AGUNG SEDAYU