TEMPO Interaktif, Surabaya - Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur Abdussomad Buchori menilai praktek penukaran uang receh dengan nilai tak sama adalah praktek riba. Penukaran uang pecahan rupiah marak dilakukan masyarakat menjelang hari raya Lebaran.
Sejak sepekan sebelum puasa, jasa penukaran uang receh marak terjadi. Dengan dalih untuk mendapatkan uang baru, bisnis penukaran ini ramai dilakukan di jalan-jalan dan terminal.
"Kalau nilainya beda, ya riba, uang Rp 100 ribu ditukar dengan Rp 110-115 ribu itu ya riba namanya," kata Abdussomad ketika dihubungi Tempo, Selasa, 9 Agustus 2011.
Menurutnya, seluruh madzhab (aliran) fikih dalam Islam sepakat jika barter atau penukaran jika dilakukan antara uang dan uang maka nilainya harus sama persis, tidak boleh dikurangi atau dilebihkan. Apalagi kalau pengurangan atau kelebihan uang dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan.
"Prinsipnya, barter uang dengan uang itu tidak bisa untuk keuntungan, nilainya harus sama dan tidak ada keuntungan di situ," imbuhnya. Barter untuk keuntungan, tambah dia, baru bisa dilakukan jika barang dengan barang atau uang dengan barang.
Riba sendiri, tambah dia, berasal dari ziyadah atau tambahan atau bisa juga diartikan tumbuh dan membesar. Hukum dari riba adalah haram sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 275 "Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba".
Meski menilai riba itu haram, MUI Jawa Timur mengaku belum berencana mengeluarkan fatwa terkait penukaran uang ini. "Hukum ini berlaku sudah lama, semua sudah tahu, fatwa itu hanya untuk masalah hukum baru," pungkas Abdussomad.
FATKHURROHMAN TAUFIQ