TEMPO Interaktif, Kediri – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Kediri KH Kafabihi Makhrus menyatakan tidak sependapat dengan ulama lain soal hukum penukaran uang. Praktek tersebut menurut dia tetap sah dan halal karena berlaku hampir di seluruh negara.
Sebelumnya Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur Abdussomad Buchori menilai praktek penukaran uang receh dengan nilai tak sama adalah praktek riba. "Kalau nilainya beda ya riba, uang Rp 100 ribu ditukar dengan Rp 110-115 ribu itu ya riba namanya," kata Abdussomad ketika dihubungi Tempo, Selasa 9 Agustus 2011.
Penukaran uang pecahan rupiah marak dilakukan masyarakat menjelang Hari Raya Lebaran. Sejak sepekan sebelum puasa jasa penukaran uang receh marak terjadi. Dengan dalih mendapatkan uang baru, bisnis penukaran ini ramai dilakukan di jalan-jalan dan terminal.
Mereka adalah para calo yang menjual uang baru kepada masyarakat dengan keuntungan 20 persen. Setiap uang Rp 100 ribu lawas yang ditukar akan mendapatkan pecahan baru senilai Rp 80 ribu. Hal itulah yang dinilai haram karena mengandung perbuatan riba.
Sejumlah pengurus MUI di Jawa Timur seperti Jombang dan Madiun menyatakan pendapat senada. Kiai Kafabihi mengatakan sikap sejumlah pengurus MUI di Jawa Timur yang menyatakan penukaran uang sebagai aktivitas haram tak bisa dibuktikan secara keilmuan.
Untuk menyatakan sesuatu sebagai halal atau haram, menurut dia, perlu kajian agama yang kuat dari beberapa ahli atau Bahtsul Masail. “Saya tak menganggap itu sebagai perbuatan haram,” kata Kafabihi kepada Tempo, Selasa 9 Agustus 2011.
Kiai Kafabihi yang juga pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo ini menambahkan pernyataan haram yang dikeluarkan beberapa pengurus MUI akan membuat masyarakat bingung. Sebab selama ini hampir seluruh umat Islam di Indonesia selalu menukarkan uang sebagai angpau kepada anak-anak.
“Dan tidak semuanya bisa menukarkan uang di bank,” kata Kafabihi. Jika para ulama menyatakan praktek itu haram, Kafabihi meminta terlebih dahulu ketegasan dasar dan hukumnya. Sebab selama ini para jemaah haji yang pergi ke Tanah Suci juga melakukan hal serupa untuk bisa bertransaksi di Arab.
Sementara itu sejumlah warga di Kota Kediri mengaku heran dengan fatwa haram yang dijatuhkan MUI di beberapa daerah. Mereka justru membutuhkan jasa penukaran uang ini sebagai syarat wajib berlebaran. “Kalau tukar uang di jalan dilarang, apa MUI menyediakan uang baru,” ujar Solikin, warga Kelurahan Pojok, Kecamatan Mojoroto, Jawa Timur.
HARI TRI WASONO