TEMPO Interaktif, Jakarta - Inflasi di Cina naik hingga 6,5 persen atau mencapai titik tertinggi dalam 37 bulan terakhir pada Juli ini. Kenyataan ini memaksa pemimpin di Negeri Tirai Bambu itu meredan gejolak harga sambil menjaga pertumbuhan ekonomi di tengah gejolak krisis utang di Amerika Serikat dan Eropa.
Harga-harga konsumen di negara ekonomi terbesar kedua di dunia naik 6,5 persen dari tahun sebelumnya, dan dari 6,4 persen bulan Juni lalu. Kenaikan didorong oleh lonjakan biaya bahan pokok yang mencapai 14,8 persen, naik dari bulan Juni yang sebesar 14,4 persen. Padahal pemerintah yakin kenaikan harga pada kisaran 4 persen.
Lonjakan harga terjadi mengikuti kenaikan suku bunga yang diterapkan bank sentral meredam gejolak ekonomi.
Analis IHS Global Insight, Alistair Thornton, mengatakan Beijing di antara dua pilihan yang sulit. Mencegah inflasi dan mengurangi kontrol untuk melindungi perusahaan Cina dari melemahnya permintaan di AS dan Eropa.
"Mereka dalam posisi yang benar-benar sulit sekarang," kata Thornton. "Jika mereka ingin mulai melonggarkan (kebijakan moneter) dan pertumbuhan, mereka bisa menghadapi risiko lebih tinggi dari inflasi."
Kenaikan harga, terutama untuk makanan, berbahaya bagi Partai Komunis karena akan mengikis keuntungan ekonomi yang mendukung kekuasaannya.
Beijing berusaha untuk mengendalikan pertumbuhan ekonomi yang naik menjadi 9,5 persen pada kuartal yang berakhir pada bulan Juni kemarin, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan pemerintah lain berjuang untuk menopang perekonomian mereka sendiri.
Beberapa pengamat memperkirakan Cina untuk menaikkan suku bunga setidaknya sekali lagi tahun ini. Namun beberapa analis hari ini, Selasa, 9 Agustus 2011, mengatakan kenaikan suku bunga tidak mungkin dilakukan, menyusul gejolak pasar akibat penurunan peringkat utang Amerika oleh Standard & Poor's.
"Para pembuat kebijakan di Cina kemungkinan akan sangat berhati-hati dalam gejolak ekonomi yang tidak pasti," kata ekonom Citigroup dalam sebuah laporan.
Inflasi telah naik terus meskipun lima kenaikan suku bunga sejak Oktober 2010 lalu. Kebijakan pemerintah yang memperketat syarat pinjaman seperti tak berdaya meredam gejolak kenaikan harga.
Sebagian analis memperkirakan pertengahan tahun ini adalah puncak dari inflasi dan kemudian akan menurun. Namun harga untuk daging babi dan sayuran melonjak setelah banjir menghancurkan tanaman musim panas di Cina selatan dan timur.
Biro Pusat Statistik Cina mencatat pada bulan Juli ini harga daging babi, daging stapel Cina, naik 56,7 persen dibanding tahun sebelumnya. Harga telur naik 19,7 persen dan sayuran segar naik 7,6 persen. Kenaikan harga keseluruhan adalah 7,1 persen tercepat sejak Juni 2008.
Pembeli Cina mengeluh harga pangan naik begitu cepat. Mereka telah dipaksa untuk mengurangi membeli daging, telur, dan buah segar.
Deng Yuanqin, yang menjual telur di pasar Shanghai, mengatakan sewa keluarganya telah meningkat 50 persen dari tahun sebelumnya, sementara pendapatan dia berkurang akibat naiknya harga telur dari grosir.
"Kami mendapat uang bahkan kurang dari sebelumnya," kata Deng, 35 tahun, yang tinggal bersama suami dan anak berusia taman kanak-kanak. "Kita menghabiskan lebih sedikit uang untuk diri kita sendiri, meskipun tidak untuk anakku."
Perdana Menteri Wen Jiabao selama ini meyakini bahwa inflasi pada bulan Juni berada di bawah kontrol. Tak akan lebih dari 4 persen.
Bank Dunia menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Cina pada bulan April dari 8,5 persen menjadi 9,3 persen dan mengatakan Beijing harus mengetatkan kebijakan moneter lebih lanjut untuk meredam gejolak harga.
AP | ERWINDAR