TEMPO Interaktif, Bandung - Dalam sebulan terakhir, ikan pindang deles yang dibeli Yulita setiap pagi di Pasar Kordon, Bandung, tak pernah sama ukurannya. Kadang, dengan uang Rp 10 ribu, ia bisa dapat 10 ekor ikan seukuran dua jari orang dewasa. Tapi lain hari ia cuma dapat enam ekor.
Tak jarang stok olahan ikan laut untuk makanan kucing peliharaannya itu kosong. "Kata penjualnya memang enggak tentu," ujar Yulita. Kini ia beralih ke kepala ayam di supermarket karena harga dan pasokannya lebih stabil.
Di pelabuhan ikan Pekalongan dan Cilacap, paceklik ikan laut sudah berjalan dua tahun. Menurut Aulia Rahman, Public Campaigner for Marine & Marine Species Programme WWF Indonesia, nelayan berdalih ikan yang biasa ditangkapnya sedang jalan-jalan ke Kalimantan hingga Australia.
"Nanti September akan datang ke sini," kata Aulia, menirukan ucapan nelayan yang ditemuinya di Cilacap beberapa waktu lalu. Hal serupa terjadi di Makassar. Ikan tuna, yang beberapa tahun sebelumnya banyak ditemukan di Selat Makassar, kian langka.
Kepala Pelabuhan Pendaratan Ikan Paotere, Makassar, Abbas, mengatakan jumlah ikan tuna tangkapan nelayan semakin sedikit. Bila ada yang berhasil menangkap, jumlahnya hanya 2-3 ekor. "Di Pelabuhan Paotere tidak ada lagi ikan tuna," kata Abbas. "Ikan tuna dari Sulawesi Selatan bermigrasi ke perairan Papua dan Flores."
Selain semakin langka, jarak tangkapan semakin jauh dan ukurannya kian menyusut. Dibanding 10-20 tahun lalu, nelayan kini harus berlayar hingga 3-4 kilometer dari pantai. Ikan yang didapatnya pun berukuran kecil.
"Beberapa jenis ikan komersial di Indonesia sudah masuk kategori sangat tereksploitasi," kata Aulia di auditorium Museum Geologi Bandung, akhir Agustus lalu. Akibatnya, ukuran ikan semakin kecil. Boleh jadi anak ikan yang masih berusia muda pun ikut dikonsumsi.
Di Bandung, WWF Indonesia berkampanye tentang konsumsi makanan laut yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Kampanye yang dimulai sejak Januari 2011 ini ditujukan kepada pemerintah daerah, nelayan, dan para penggemar makanan ikan laut atau seafood.
Ada enam kota sasaran kampanye tersebut, yaitu Medan, Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makassar, dan Manado. "Berdasarkan hasil survei, jumlah pemakan seafood di daerah tersebut cukup besar," katanya.
Kota lainnya, seperti Bogor dan Bandung, membidik para penggemar seafood di kalangan anak-anak muda. Bukan hanya di Indonesia, kampanye serupa gencar dilakukan oleh WWF ke sejumlah negara, misalnya Hong Kong, Jepang, Belanda, dan Amerika Serikat. Belanda dan negara Eropa lainnya, kata Aulia, kini telah memperketat kiriman ikan laut impor.
Mereka meminta produk yang bersertifikat eco label. Sertifikat itu berisi data lengkap tentang identitas nelayan, waktu pengambilan ikan, koordinat lokasi penangkapan, serta jumlah tangkapan yang tercatat dalam log book. "Ini yang mulai kami sosialisasikan ke nelayan atau kelompoknya," ujarnya.
Menurut WWF, hasil riset yang dilakukan sejumlah ilmuwan menunjukkan hasil tangkapan ikan sejak 1950 hingga 2000-an terus menurun. Peningkatan populasi ikan laut juga tak pernah terjadi lagi.
Diperkirakan pada 2048, ikan akan habis dan laut hanya menyisakan ubur-ubur serta plankton. "Semua ikan besar telah habis ditangkapi sekarang," kata Aulia.
Eksploitasi ikan di Indonesia tercatat terjadi pada era 1970-an di perairan barat, seperti Sumatera, Kepulauan Seribu, hingga Karimun Jawa. Daerah tersebut kini masih direhabilitasi.
Pada era 1990 hingga 2000-an, eksploitasi ikan bergeser ke wilayah tengah Indonesia karena di bagian barat sudah habis. "Sekarang perairan Papua, Raja Ampat, dan sekitarnya mulai dieksploitasi," katanya.
WWF Indonesia kini telah memiliki panduan konsumen untuk menyantap hidangan laut yang ramah lingkungan sekaligus berkelanjutan. Dalam kertas lipat seukuran kartu voucher terdapat daftar ikan dan krustaseae, seperti kepiting, udang, atau lobster, yang harus dihindari, dipertimbangkan, atau masuk sebagai pilihan terbaik untuk disantap.
Jenis ikan yang umumnya harus dihindari dimakan yaitu bawal hitam dan putih, hiu, kakap putih, kuda laut, sembilang, telur ikan, tuna sirip biru, serta udang, kecuali udang yang ditangkap dengan bubu. Sedangkan ikan pilihan terbaik yaitu barakuda, kecuali yang ditangkap menggunakan pukat.
Ikan belanak, cakalang, cumi, kembung, layang, lemuru, kembung banjar, dan salem juga dapat disantap karena populasinya di alam masih berlimpah. Demikian pula dengan ikan tenggiri, teri jengki, teripang, todak, dan tongkol.
Untuk jenis ikan budi daya, seperti bandeng, kerapu bebek dan kerapu macan, kakap putih, hingga udang windu, sebaiknya dipilih yang diambil dengan cara tradisional.
Khusus di Indonesia, kata Aulia, ada empat jenis ikan yang harus dihindari karena dieksploitasi besar-besaran untuk ekspor, yaitu tuna, kerapu, kakap, dan lobster. Konsumen diminta lebih bijaksana untuk mengkonsumsi keempat jenis ikan tersebut.
Jika penangkapan ikan itu hasil dari pukat dan sejenisnya, WWF Indonesia menyarankan agar ikan tersebut tak usah dibeli. Sebagai gantinya, protein hewani tersebut bisa diganti dengan tahu, tempe, atau ayam.
Perilaku konsumen yang kritis itu, kata Aulia, dinilai ampuh untuk menyadarkan produsen dan distributor ikan. "Kami tidak mengharamkan makan ikan, tapi harap bijaksana untuk menjaga agar tidak punah," katanya.
ANWAR SISWADI | ANISWATI SYAHRIR