TEMPO Interaktif, Jakarta -- Pemerintah menilai pemberian gelar doctor honoris causa oleh Universitas Indonesia kepada Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Azis sudah final. Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional Djoko Santoso, gelar yang sempat menimbulkan kontroversi itu tak bisa dicabut lantaran sudah memenuhi prosedur secara akademis.
"Kalau prosedurnya enggak benar, ya, bisa dicabut. Tapi, setelah mengecek berjam-jam, prosedurnya sudah sah. Jadi tak ada alasan dicabut," ujarnya saat dihubungi Senin 5 September 2011.
Djoko menyatakan telah memanggil jajaran Rektorat dan Senat Universitas Indonesia ke kantornya kemarin malam. Mereka diminta menjelaskan latar belakang pemberian gelar doktor kemanusiaan dan ilmu pengetahuan teknologi kepada Raja Abdullah. Walhasil, kata Djoko, "Kami bisa mengerti bahwa semuanya sudah dikaji." Kendati begitu, dia mengatakan telah menegur jajaran rektorat karena dinilai kurang mensosialisasi ihwal latar belakang pemberian gelar itu.
Pada 21 Agustus lalu, Rektor UI Gumilar Rusliwa Somantri menyerahkan secara langsung gelar doctor honoris causa kepada Raja Abdullah di Istana Al-Shafa, Arab Saudi. Tindakan itu dikecam sejumlah pihak.
Anggota Komisi Ketenagakerjaan Dewan Perwakilan Rakyat, Rieke Dyah Pitaloka, mengatakan pemerintah dan UI sudah mengabaikan unsur kemanusiaan. Soalnya, pelanggaran kemanusiaan terhadap tenaga kerja Indonesia di Saudi sudah menjadi persoalan kemanusiaan universal. "Pemerintah harus mendefinisikan ulang arti kemanusiaan, termasuk UI," ujarnya.
Rieke menilai persoalan itu tak hanya menjadi urusan UI, tapi juga pemerintah. Soalnya, gelar tersebut mendapat persetujuan dari Menteri Pendidikan Nasional, dan dia menengarai itu diketahui Presiden. Rieke mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1980 tentang pedoman pemberian gelar kehormatan. Pasal 4 ayat 2 menyebutkan usulan pemberian gelar dilakukan atas saran dan inisiatif perguruan tinggi oleh rektor kepada menteri, dengan pertimbangan lengkap atas jasa dan karya calon penerima gelar. Pada Pasal 8 ayat 1 disebutkan pemberian gelar kehormatan tidak bisa dilakukan apabila menteri tidak menyetujuinya. "Saya enggak yakin pemerintah tidak tahu," ujarnya.
Guru besar Universitas Indonesia, Emil Salim, mengatakan tidak pernah diajak berembuk soal pemberian gelar tersebut. "Itu keputusan diambil tidak dengan Majelis Wali Amanah," ujarnya. Guru besar ilmu manajemen Universitas Indonesia, Rhenald Kasali, juga mengatakan tidak mempermasalahkan gelar tersebut apakah dicopot atau tidak. "Tapi kami mempersoalkan pemberian gelar itu tidak good governance," ucapnya.
l MAHARDIKA SATRIA HADI | DIANING SARI | SUKMA