TEMPO Interaktif, Jakarta - Anggota Komisi Ketenagakerjaan DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Rieke Dyah Pitaloka, menengarai ada "peran" Istana di balik pemberian gelar doktor honoris causa kepada Raja Arab Saudi beberapa waktu lalu oleh Universitas Indonesia.
"Saya melihat ini tidak hanya persoalan akademis karena doktor honoris causa itu tidak bisa diberikan tanpa persetujuan pemerintah," kata Rieke ketika dihubungi Tempo, Senin, 5 September 2011.
Apalagi, lanjut Rieke, tadi malam sempat terjadi pertemuan antara Sekretaris Kabinet Dipo Alam yang datang bersama Rektor UI Gumilar Rosliwa Soemantri dengan Guru Besar Fakultas Ekonomi UI Emil Salim, sehari sebelum orasi ilmiah di Dekanat Fakultas Ekonomi UI pagi tadi.
Ia menilai pertemuan yang digelar di kediaman Emil Salim di kawasan Patra Jasa, Kuningan, Jakarta Selatan, itu pasti punya maksud tertentu. "Pemberian gelar tidak semata urusan UI sebagai civitas akademika, tapi ada keterlibatan "Istana" dalam persoalan ini," ujar Rieke.
Rieke mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1980 yang mengatur tentang pedoman pemberian gelar kehormatan. Dalam Pasal 4 ayat 2 disebutkan bahwa usulan pemberian gelar dilakukan atas saran dan inisiatif perguruan tinggi oleh rektor kepada menteri (Pendidikan Nasional) dengan pertimbangan lengkap atas jasa dan karya calon penerima gelar.
Adapun dalam Pasal 5 ayat 2 disebutkan bahwa penilaian oleh perguruan tinggi dilakukan oleh senat perguruan tinggi atau panitia yang ditunjuk. Lalu dalam Pasal 8 ayat 1 disebutkan bahwa pemberian gelar kehormatan tidak bisa dilakukan apabila menteri tidak menyetujuinya.
Rieke melihat persoalan pemberian gelar kehormatan tersebut bukan hanya menjadi urusan UI semata, tapi juga pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Soalnya, persetujuan dari Mendiknas pasti diketahui oleh SBY. "Saya enggak yakin pemerintah tidak tahu," ujarnya.
Menurut Rieke, pemerintah menjadikan momentum pemberian gelar kehormatan kepada Raja Saudi sebagai alat untuk memperbaiki hubungan dengan pemerintah Arab Saudi yang sempat renggang akibat kejadian pemberhentian sementara (moratorium) pengiriman tenaga kerja Indonesia per 1 Agustus lalu. Ditambah lagi bisnis pengiriman TKI melibatkan uang yang tidak sedikit, mulai dari asuransi hingga penerimaan negara bukan pajak. "UI hanya dijadikan alat oleh pemerintah," katanya.
Ia menilai pemerintah dan UI sudah mengabaikan unsur kemanusiaan dalam pemberian gelar kehormatan kepada Raja Saudi. Soalnya, pelanggaran kemanusiaan terhadap TKI di Saudi sudah menjadi persoalan kemanusiaan universal. "Pemerintah harus mendefinisikan ulang arti kemanusiaan, termasuk UI," ujar dia.
Ditambah lagi, pemerintahan SBY tidak menunjukkan sikap resminya sejak kejadian ini memicu kontroversi di tengah masyarakat. "Kalau pemerintah SBY tidak mendukung, harusnya ada statement. Seharusnya pemerintah protes kalau memang (pemberian gelar) tidak lewat izin pemerintah, tapi ini diam saja," tandas Rieke.
MAHARDIKA SATRIA HADI