TEMPO Interaktif, Jakarta - Sejak 31 Agustus lalu, ribuan warga Jakarta dipusingkan dengan mencari air bersih. Membeli air galon isi ulang, mengantre air yang dibagikan mobil tangki, minta ke tetangga atau tempat ibadat yang memiliki cadangan air tanah, atau bahkan mengungsi ke rumah kerabat di luar Jakarta. Tak ada kompensasi untuk kerepotan warga itu.
"Air yang tidak diperoleh warga ya tidak usah dibayar. Tetapi tidak bisa kalau sampai tagihan bulan September ini tidak dibayarkan," kata Direktur Utama Perusahaan Daerah Air Minum Jaya, Mauritz Napitupulu di Pejompongan, Rabu 7 September 2011.
Menurut Mauritz, ketidakadilan Perjanjian Kerja Sama (PKS) menyebabkan PDAM berhutang Rp 583,67 miliar pada 2010 kepada kedua operator distributor air bersih, PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan AETRA. Utang atas imbalan air (soft fall) ini bahkan bisa berkembang menjadi Rp 18,2 triliun di tahun 2022. "Kalau masih ada hutang ke kedua operator, lalu masih ada usaha tidak menaikkan tarif, tekanannya terlalu besar kalau sampai pelanggan tak membayar bulan ini."
Sebelumnya, Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia (KP3-I) mengajak warga Jakarta memboikot pembayaran tagihan air PDAM Jaya bulan September 2011. Terutama setelah warga dibiarkan harus menderita karena tidak ada air selama pintu limpasan air Buaran runtuh
Direktur Eksekuti KP3-I Tom Pasaribu mengatakan, kedua mitra PDAM ini tidak becus mengelola kebutuhan air. Selain itu, harga air perpipaan juga dianggap sudah terlalu mahal. Pelanggan Palyja dikenai tarif Rp 7800 per meter kubik. Sedangkan bagi pelanggan AETRA Rp 6800 per meter kubik. "Itu kemahalan kalau dibanding tarif di Surabaya yang hanya Rp 2600 dan di Bekasi hanya Rp 2300," kata Mauritz.
ARYANI KRISTANTI