TEMPO Interaktif, Jakarta - Eksportir rumput laut meminta pemerintah memberi kejelasan pasar dalam negeri yang bisa menyerap produksi petani lokal. "Harus ada road map. Misalnya berapa kebutuhan rumput laut untuk produksi dodol?" kata Ketua Asosiasi Rumput Laut Indonesia, Safari Aziz, ketika dihubungi, Rabu, 7 September 2011.
Pernyataan tersebut terkait rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan melarang ekspor rumput laut tahun depan. Pengusaha tidak melihat keuntungan dari rencana pelarangan ekspor ini. "Setiap tahun diekspor 100 ribu ton rumput laut kering," kata Safari.
Volume ekspor rumput laut itu mencapai 80 persen dari produksi rumput laut, sedangkan 20 persen sisa produksinya digunakan di dalam negeri.
Namun, data berbeda datang dari versi pemerintah yang menyebutkan produksi rumput laut basah mencapai 3 juta ton atau setara dengan 300 ribu ton rumput laut kering. Dengan data ini plus kinerja ekspor, sisa produksi di dalam negeri masih sangat berlimpah.
Untuk membahas masalah ini, pengusaha lalu menemui Wakil Menteri Perdagangan dua hari lalu. "Kementerian Perdagangan menyatakan kalau larangan ekspor bahan baku tidak sesuai dengan aturan Organisasi perdagangan dunia (WTO)," kata Safari. Kementerian Perdagangan berjanji membicarakan masalah ini dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Setelah wacana larangan ekspor ini bergulir, kata Safari, petani merugi karena harga rumput laut anjlok. Dari yang biasanya rumput laut kering dihargai Rp 11 ribu per kilogram kini hanya Rp 7 ribu. Mereka terpaksa menjual rumput laut dengan harga rendah karena khawatir pasar ekspor menghilang.
Pasalnya, simpang siurnya kebijakan larangan ekspor membuat importir melihat ada ketidakpastian kebijakan di Indonesia sehingga beralih mencari sumber rumput laut dari negara lain. Beberapa negara produsen rumput laut lainnya adalah Filipina dan negara-negara kepulauan di Laut Pasifik. Brasil, India dan Afrika juga mengembangkan produksi rumput laut.
Karena itu, Safari berharap pemerintah dan pengusaha segera menemukan jalan keluar dari masalah ini. "Kami akan berkomunikasi terus dengan Kementerian Perdagangan dan berencana bertemu dengan Kementerian Koordinator Perekonomian.”
EKA UTAMI APRILIA