TEMPO Interaktif,- Bertelangjang dada, lelaki itu duduk bersimpuh. Hanya selembar sarung yang menutup bagian bawah tubuhnya. Badannya merendah, kedua tangannya menyatu di atas kepala. Kepala menunduk rendah, dia menyembah. Dalam ruang gelap berlatar belakang gambar koin uang Rp 500, aktivitas itu dia lakukan.
Penghamba Uang, demikian judul lukisan karya Lisinatra, pelukis otodidak asal Batang, Jawa Tengah. Karya itu digelar bersama belasan karya empat seniman Kalikuto Art--Abdul Rahman (Ragile), Al Manaf, Mukoror, dan Samsuri--dalam pameran bertajuk “Re-Contribution” di Galeri Biasa, Yogyakarta, 10-20 September 2011.
Inilah pameran mereka yang pertama di Yogyakarta. Mereka datang dari Batang dan Tegal ke Yogyakarta dengan biaya sendiri. Untuk membayar ongkos akomodasi dan transportasi, mereka patungan Rp 2 juta per orang. “Ini suatu kepolosan ingin memperkenalkan diri,” kata Samsuri, 44 tahun, di sela pembukaan pameran, Sabtu malam lalu.
Samsuri menampilkan lukisan bergambar seorang lelaki berjudul Waspada. Sekilas, lelaki dalam lukisan itu berposisi sebagai penjaga gawang yang bersiap menangkap bola.
Konsep 20 lukisan yang dipamerkan itu, ujar Lisinatra, memang berbeda. Tapi membentuk satu kesatuan tema: problema kehidupan masyarakat pesisir Jawa Tengah. “Itu paduan tentang masalah hidup.”
Karya Mukoror berjudul Fly, misalnya, yang menampilkan figur telentang di atas tumpukan ikan tangkapan nelayan. Lukisan itu merupakan refleksi dari profesi masyarakat pesisir sebagai nelayan. Dalam Fly, gambar tumpukan ikan dan orang itu dicitrakan terbalik sehingga membentuk citra sedang melayang.
Konsep lingkungan itu dipertegas dengan kehadiran karya Ragile berjudul Bee, yang bercerita tentang lebah sebagai penyeimbang lingkungan. Al-Manaf menampilkan citraan Albert Einstein pada karya berjudul Come On. Karya ini merupakan ajakan untuk memakai akal sehat.
Empat seniman kelompok ini belajar melukis secara otodidaktik. “Belajar dari satu pelukis satu ke pelukis lain,” kata Al-Manaf. Hanya Ragile yang pernah menempuh jurusan desain grafis di satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Karya mereka pun lebih banyak menampilkan lukisan realis yang lebih mudah dipahami.
Samsuri menjelaskan, potensi seni rupa di daerah asalnya cukup besar. Sayang, dukungan--baik fasilitas maupun budaya seni rupa--tak segencar di Yogyakarta. Karya mereka beredar dari satu galeri cendera mata ke galeri yang lain. “Tapi keinginan kami besar untuk terus mengembangkan diri,” kata Lisinatra. Mereka pun berupaya untuk menggelar pameran kembali di Yogyakarta.
ANANG ZAKARIA