TEMPO Interaktif, MAKASSAR - Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember menilai kelembagaan kelompok tani di Sulawesi Selatan belum memberikan dukungan penuh terhadap kualitas kopi di Sulawesi Selatan. "Padahal, berdasarkan penelitian, kualitas kopi Sulawesi Selatan jauh lebih baik ketimbang kopi di Jawa, yang notabene daerah pusat penelitian kopi," kata Sutanto Abdullah dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember kemarin.
Sutanto menjelaskan, beberapa penilaian yang diberikan dalam menentukan aspek mutu kopi adalah fisik biji, cita rasa, keamanan, dan daerah asal. Sedangkan yang dijadikan bahan penilaian dalam menentukan kualitas adalah ukuran, bawaan genetis, lingkungan, dan budi daya.
"Kopi Sulawesi Selatan memenuhi semua persyaratan kualitas yang ditetapkan. Grade-nya menempati angka 3-4," kata Sutanto. Tingginya grade biji kopi Sulawesi Selatan, kata dia, juga menyebabkan nilai jualnya jauh lebih tinggi ketimbang produksi kopi dari daerah lain.
Menurut dia, kopi grade 1-2 sangat sulit diperoleh. Kopi jenis ini hanya dibeli oleh beberapa pengusaha kopi yang memiliki standar internasional, seperti Starbucks.
Hingga saat ini Sulawesi Selatan belum memiliki kelembagaan kelompok tani yang bisa membantu petani melakukan pemasaran. "Petani kesannya belum bersatu dalam hal produksi dan pemasaran, sehingga ketika ada permasalahan, mereka menghadapinya sendiri-sendiri," ujarnya.
Padahal, kata Sutanto, kelembagaan petani sangat dibutuhkan untuk memperoleh pinjaman modal. Jika peminjaman modal dilakukan sendiri-sendiri, perbankan akan sulit memberikan kepercayaan.
Wakil Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia Franky Djamal menilai permasalahan yang dihadapi Sulawesi Selatan dalam pemasaran kopi adalah maraknya penjualan kopi antarpulau. Hal ini dapat merugikan Sulawesi Selatan. Sebab, pedagang dari daerah lain yang membeli kopi dari Sulawesi Selatan akan menggunakan nama daerah mereka dalam pemberian brand kopi. "Dengan melakukan penjualan antarpulau, keasliannya akan hilang karena dicap sebagai milik orang lain," ujar Franky.
Franky mengusulkan agar pemerintah pusat membuat regulasi pembatasan penjualan antarpulau. Apalagi produksi kopi tahun ini menurun, sehingga volume ekspor merosot hingga 70 persen. Banyaknya penjualan kopi antarpulau, kata dia, tidak hanya merugikan eksportir, tapi juga mengurangi pendapatan provinsi. Persoalannya, penjualan antarpulau tidak dikenai biaya, sedangkan untuk ekspor dikenai biaya sebesar Rp 40 per kilogram.
| ANISWATI SYAHRIR