TEMPO Interaktif, Kupang - Riko Koeslulat, 33 tahun, tampak bersemangat memetik buah tomat yang telah memerah. Di bawah terik matahari yang menyengat, lelaki bertubuh kurus tinggi dan berkulit hitam itu tak mengeluh. Peluh yang membasahi tubuh tak dibasuh.
Bersama tiga sanak keluarganya, Riko sedang menuai hasil garapannya di lahan sekitar dua hektare di desanya, Desa Oematnunu, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Buah tomat dikumpulkan dalam ember. Masing-masing ember berisi 20 hingga 30 buah tomat yang setara dua hingga tiga kilogram. Ember-ember yang telah dipenuhi tomat dikumpulkan di bawah tenda terpal. ”Kami memilih menanam tomat karena lahan tidak bisa ditanami padi,” kata Riko
Riko dan warga lainnya di Desa Oematnunu memang harus putar otak mengakali musim kemarau panjang yang melanda desanya. Seperti juga desa lainnya di hampir seluruh wilayah NTT, kegersangan adalah petaka yang selalu diderita. Dataran yang kering berbatu hanya bergantung pada air hujan.
Namun, bagi Riko dan petani lainnya di Desa Oetmanu, keuletan adalah cara untuk melepaskan diri dari petaka kemarau. Lahan yang terdiri tiga bidang, sekitar 500 meter dari rumahnya itu tak ingin dibiarkan kosong setelah tanaman padinya mati meranggas.
Saluran irigasi di desanya sudah tak dialiri air. Namun, embung (waduk penyimpan air hujan) masih menyisakan sedikit air sehingga bisa digunakan untuk menyirami tanaman tomatnya. Tidak jadi masalah bagi Riko meski harus bolak-balik memikul gentong dari embung ke kebun tomatnya yang berjarak sekitar satu kilometer.
Tomat hasil panenannya dijual ke pasar di Kota Kupang, sekitar 40 kilometer dari Desa Oematnunu. Ada juga yang menjual kepada para pengepul yang mendatangi desa tersebut.
Pola jual beli masih bersifat tradisional. Tomat tidak dijual per buah, melainkan per ember. Setiap ember dijual dengan harga rata-rata Rp 10 ribu. Dari lahannya kebunnya, Riko dan keluarganya menghasilkan 80 ember. ”Karena kebun milik bersama 10 keluarga, hasil penjualan kami bagi Rp 100 ribu per keluarga. Tidak kami bagi semuanya karena harus disisakan untuk membeli bibit,” ucap Riko.
Dari hasil berkebun tomat, Riko dan keluarganya lepas dari petaka kelaparan. Uang hasil penjualan tomat diutamakan untuk membeli bahan makanan, terutama beras dan lauk pauk.
Kepala Desa Oematnunu, Yulianus Letoto, 40 tahun, membanggakan keuletan warganya. Terdapat 10 kelompok tadi di desanya. Mereka berhasil mensiasati kemarau dengan berbagai jenis tanaman holtikultura. Selain tomat, ada juga yang menanam sayuran lainnya.
Yulius memaparkan sebanyak 426 kepala keluarga (KK) atau sekitar 99 persen warga di desanya terancam mengalami rawan pangan akibat gagal panen.
Yulius sudah meminta bantuan berupa 10 mesin pompa air dari Pemerintah Kabupaten Kupang. Dengan pompa tersebut, air dari embung bisa dialirkan untuk mengairi sawah warganya. ”Tapi sampai saat ini bantuan pompa belum kami terima,” ucapnya.
Yulius masih merasa cemas. Sisa air di satu-satunya embung di desanya debitnya kian menipis. Yulius memperkirakan akan habis Oktober 2011 mendatang. ”Kalau hujan belum juga turun, entahlah, apalagi akal agar warga kami tidak dilanda kelaparan,” tuturnya.
Warga Desa Nunkurus, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, juga tak kalah ulet. Sejak kemarau melanda sejak tiga bulan terakhir, warga meninggalkan ladang dan beralih membuat gula merah dari buah lontar. ”Hasilnya cukup untuk menghidupi keluarga kami,” kata Fery Mboro, 45 tahun, salah seorang warga Desa Nunkurus.
Bersama istrinya, Sarce, 41 tahun, dalam sehari bisa menghasilkan uang penjualan gula merahnya hingga Rp 100 ribu. ”Tapi kalau cuaca buruk, angin kencang, gula yang kami hasilkan sedikit dan cuma bisa bawa pulang uang Rp 50 ribu,” kata Fery, lelaki bertubuh gemuk pendek itu.
Cuaca, terutama angin, mempengaruhi hasil kerja warga Desa Nunkurus dalam membuat gula merah. Mereka harus memanjat pohon lontar untuk mendera air buah lontar sebagai bahan baku pembuatan gula merah. ”Kalau angin terlalu kencang, kami tidak kuat terlalu lama di atas pohon,” urai Fery.
Warga Desa Nunkurus pun bisa lepas dari petaka kelaparan. Uang hasil penjualan gula merah digunakan untuk membeli kebutuhan pokok, terutama beras.
Daerah yang dilanda kekeringan di NTT terus meluas. Hingga saat ini telah mencapai 10 kabupaten dari 21 kabupaten dan kota di provinsi tersebut. 10 kabupaten tersebut adalah Kabupaten Alor, Kupang, Timor Tengah Utara, Sumba Timur, Ngada, Flores Timur, lembata, Belu, Nagekeo dan Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Pemerintah Provinsi NTT telah menyalurkan bantuan beras. Setiap kabupaten mendapatkan 50 hingga 150 ton, tergantung jumlah warga yang terancam rawan pangan. Selain itu, telah pula mendapatkan kepastian dari Kementerian Sosial yang akan segera mengirimkan bantuan beras 2.895 ton.
Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, menyatakan tidak menyalurkan seluruh beras bantuan dari Kementerian Sosial. Jumlah yang disalurkan hanya 1.360 ton. Selebihnya 1.335 ton akan dijadikan cadangan pangan jangka menengah.
Gubernur pun tak ingin warganya hanya bisa menengadahkan tangan menunggu bantuan beras. Gubernur menerapkan kebijakan yang disebutnya sebagai padat karya pangan. Meski terancam kelaparan, gubernur meminta warganya tetap menggarap lahannya.
Itu sebabnya Gubernur Frans Lebu Raya mengingatkan para bupati dan walikota tidak mudah membagikan beras kepada warganya. ”Bantuan beras hanya boleh diberikan kepada warga yang tetap mau menggarap lahannya,” ujarnya.
Menurut Gubernur Lebu Raya, masyarakat NTT harus dibiasakan untuk memahami diversifikasi pola tanam. Lahan yang ada tidak dipaksakan untuk ditanami padi, melainkan bisa ditanami berbagai jenis tanaman palawija atau tanaman holtikultura yang tidak membutuhkan banyak air. Hampir seluruh wilayah di provinsi ini terdiri dari tanah kering sehingga tidak memungkinkan menggantungkan kebutuhan pangan semata-mata dari beras.
Riko Koeslulat di Desa Desa Oematnunu serta pasangan suami istri Fery Mboro dan Marce di Desa Nunkurus sudah membuktikannya.
YOHANES SEO