Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Mengakali Ancaman Kelaparan dengan Keuletan

image-gnews
REUTERS/Christina Hu
REUTERS/Christina Hu
Iklan

TEMPO Interaktif, Kupang - Riko Koeslulat, 33 tahun, tampak bersemangat memetik buah tomat yang telah memerah. Di bawah terik matahari yang menyengat, lelaki bertubuh kurus tinggi dan berkulit hitam itu tak mengeluh. Peluh yang membasahi tubuh tak dibasuh.

Bersama tiga sanak keluarganya, Riko sedang menuai hasil garapannya di lahan sekitar dua hektare di desanya, Desa Oematnunu, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Buah tomat dikumpulkan dalam ember. Masing-masing ember berisi 20 hingga 30 buah tomat yang setara dua hingga tiga kilogram. Ember-ember yang telah dipenuhi tomat dikumpulkan di bawah tenda terpal. ”Kami memilih menanam tomat karena lahan tidak bisa ditanami padi,” kata Riko

Riko dan warga lainnya di Desa Oematnunu memang harus putar otak mengakali musim kemarau panjang yang melanda desanya. Seperti juga desa lainnya di hampir seluruh wilayah NTT, kegersangan adalah petaka yang selalu diderita. Dataran yang kering berbatu hanya bergantung pada air hujan.

Namun, bagi Riko dan petani lainnya di Desa Oetmanu, keuletan adalah cara untuk melepaskan diri dari petaka kemarau. Lahan yang terdiri tiga bidang, sekitar 500 meter dari rumahnya itu tak ingin dibiarkan kosong setelah tanaman padinya mati meranggas.

Saluran irigasi di desanya sudah tak dialiri air. Namun, embung (waduk penyimpan air hujan) masih menyisakan sedikit air sehingga bisa digunakan untuk menyirami tanaman tomatnya. Tidak jadi masalah bagi Riko meski harus bolak-balik memikul gentong dari embung ke kebun tomatnya yang berjarak sekitar satu kilometer.

Tomat hasil panenannya dijual ke pasar di Kota Kupang, sekitar 40 kilometer dari Desa Oematnunu. Ada juga yang menjual kepada para pengepul yang mendatangi desa tersebut.

Pola jual beli masih bersifat tradisional. Tomat tidak dijual per buah, melainkan per ember. Setiap ember dijual dengan harga rata-rata Rp 10 ribu. Dari lahannya kebunnya, Riko dan keluarganya menghasilkan 80 ember. ”Karena kebun milik bersama 10 keluarga, hasil penjualan kami bagi Rp 100 ribu per keluarga. Tidak kami bagi semuanya karena harus disisakan untuk membeli bibit,” ucap Riko.

Dari hasil berkebun tomat, Riko dan keluarganya lepas dari petaka kelaparan. Uang hasil penjualan tomat diutamakan untuk membeli bahan makanan, terutama beras dan lauk pauk.

Kepala Desa Oematnunu, Yulianus Letoto, 40 tahun, membanggakan keuletan warganya. Terdapat 10 kelompok tadi di desanya. Mereka berhasil mensiasati kemarau dengan berbagai jenis tanaman holtikultura. Selain tomat, ada juga yang menanam sayuran lainnya.

Yulius memaparkan sebanyak 426 kepala keluarga (KK) atau sekitar 99 persen warga di desanya terancam mengalami rawan pangan akibat gagal panen.

Yulius sudah meminta bantuan berupa 10 mesin pompa air dari Pemerintah Kabupaten Kupang. Dengan pompa tersebut, air dari embung bisa dialirkan untuk mengairi sawah warganya. ”Tapi sampai saat ini bantuan pompa belum kami terima,” ucapnya.

Yulius masih merasa cemas. Sisa air di satu-satunya embung di desanya debitnya kian menipis. Yulius memperkirakan akan habis Oktober 2011 mendatang. ”Kalau hujan belum juga turun, entahlah, apalagi akal agar warga kami tidak dilanda kelaparan,” tuturnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Warga Desa Nunkurus, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, juga tak kalah ulet. Sejak kemarau melanda sejak tiga bulan terakhir, warga meninggalkan ladang dan beralih membuat gula merah dari buah lontar. ”Hasilnya cukup untuk menghidupi keluarga kami,” kata Fery Mboro, 45 tahun, salah seorang warga Desa Nunkurus.

Bersama istrinya, Sarce, 41 tahun, dalam sehari bisa menghasilkan uang penjualan gula merahnya hingga Rp 100 ribu. ”Tapi kalau cuaca buruk, angin kencang, gula yang kami hasilkan sedikit dan cuma bisa bawa pulang uang Rp 50 ribu,” kata Fery, lelaki bertubuh gemuk pendek itu.

Cuaca, terutama angin, mempengaruhi hasil kerja warga Desa Nunkurus dalam membuat gula merah. Mereka harus memanjat pohon lontar untuk mendera air buah lontar sebagai bahan baku pembuatan gula merah. ”Kalau angin terlalu kencang, kami tidak kuat terlalu lama di atas pohon,” urai Fery.

Warga Desa Nunkurus pun bisa lepas dari petaka kelaparan. Uang hasil penjualan gula merah digunakan untuk membeli kebutuhan pokok, terutama beras.

Daerah yang dilanda kekeringan di NTT terus meluas. Hingga saat ini telah mencapai 10 kabupaten dari 21 kabupaten dan kota di provinsi tersebut. 10 kabupaten tersebut adalah Kabupaten Alor, Kupang, Timor Tengah Utara, Sumba Timur, Ngada, Flores Timur, lembata, Belu, Nagekeo dan Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Pemerintah Provinsi NTT telah menyalurkan bantuan beras. Setiap kabupaten mendapatkan 50 hingga 150 ton, tergantung jumlah warga yang terancam rawan pangan. Selain itu, telah pula mendapatkan kepastian dari Kementerian Sosial yang akan segera mengirimkan bantuan beras 2.895 ton.

Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, menyatakan tidak menyalurkan seluruh beras bantuan dari Kementerian Sosial. Jumlah yang disalurkan hanya 1.360 ton. Selebihnya 1.335 ton akan dijadikan cadangan pangan jangka menengah.

Gubernur pun tak ingin warganya hanya bisa menengadahkan tangan menunggu bantuan beras. Gubernur menerapkan kebijakan yang disebutnya sebagai padat karya pangan. Meski terancam kelaparan, gubernur meminta warganya tetap menggarap lahannya.

Itu sebabnya Gubernur Frans Lebu Raya mengingatkan para bupati dan walikota tidak mudah membagikan beras kepada warganya. ”Bantuan beras hanya boleh diberikan kepada warga yang tetap mau menggarap lahannya,” ujarnya.

Menurut Gubernur Lebu Raya, masyarakat NTT harus dibiasakan untuk memahami diversifikasi pola tanam. Lahan yang ada tidak dipaksakan untuk ditanami padi, melainkan bisa ditanami berbagai jenis tanaman palawija atau tanaman holtikultura yang tidak membutuhkan banyak air. Hampir seluruh wilayah di provinsi ini terdiri dari tanah kering sehingga tidak memungkinkan menggantungkan kebutuhan pangan semata-mata dari beras.

Riko Koeslulat di Desa Desa Oematnunu serta pasangan suami istri Fery Mboro dan Marce di Desa Nunkurus sudah membuktikannya.

YOHANES SEO

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan

BMKG Perkirakan Musim Kemarau 2024 di Wilayah Bandung Raya Mulai Juni

18 jam lalu

Petugas Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika  (BMKG) memantau monitor prakiraan cuaca wilayah Jakarta dan sekitarnya di gedung BMKG, Jakarta. TEMPO/Subekti
BMKG Perkirakan Musim Kemarau 2024 di Wilayah Bandung Raya Mulai Juni

Saat ini sebagian wilayah Jawa Barat memasuki masa pancaroba atau peralihan dari musim hujan ke kemarau.


BMKG Prediksi Musim Kemarau Dimulai pada April

27 hari lalu

Petani beraktivitas di sawah kawasan Majalengka, Jawa Barat, Senin, 20 November 2023. Kesulitan air di daerah tersebut mulai dirasakan sejak Juni 2023 hingga saat ini. Akibat musim kemarau, petani mengaliri sawahnya menggunakan pompa dari sumur yang airnya terbatas. TEMPO/ Febri Angga Palguna
BMKG Prediksi Musim Kemarau Dimulai pada April

Pantura bakal menjadi daerah pertama di Jawa yang memulai musim kemarau pada April mendatang.


Waspada Dampak Penguapan Air Selama Kemarau, Diperkirakan Berlangsung di Jakarta dan Banten pada Juni-Agustus 2024

28 hari lalu

Warga beraktivitas di pinggir Waduk Cacaban, Kedung Banteng, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Selasa, 11 September 2018. Akibat musim kemarau tahun ini, volume air di salah satu waduk penyuplai di wilayah Pantura itu menyusut hingga lebih dari puluhan meter sehingga mengancam kekeringan, terutama persawahan di sejumlah wilayah itu. ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah
Waspada Dampak Penguapan Air Selama Kemarau, Diperkirakan Berlangsung di Jakarta dan Banten pada Juni-Agustus 2024

Fenomena penguapan air dari tanah akan menggerus sumber daya air di masyarakat. Rawan terjadi saat kemarau.


Jakarta dan Banten Masuki Puncak Kemarau pada Agustus 2024, Mundur Akibat Gejolak Iklim

28 hari lalu

Ilustrasi kekeringan: Warga berjalan di sawah yang kering akibat kemarau di Rajeg, Kabupaten Tangerang, Banten. ANTARA FOTO/Fauzan/ama.
Jakarta dan Banten Masuki Puncak Kemarau pada Agustus 2024, Mundur Akibat Gejolak Iklim

Jakarta dan Banten diperkirakan memasuki musim kemarau mulai Juni mendatang, dan puncaknya pada Agustus. Sedikit mundur karena anomali iklim.


Kapan Musim Kemarau 2024 Tiba? Ini Penjelasan BMKG

36 hari lalu

Ilustrasi kekeringan: Warga berjalan di sawah yang kering akibat kemarau di Rajeg, Kabupaten Tangerang, Banten. ANTARA FOTO/Fauzan/ama.
Kapan Musim Kemarau 2024 Tiba? Ini Penjelasan BMKG

Awal kemarau di Indonesia diperkirakan tidak akan serentak di seluruh wilayah. Kemarau di beberapa daerah mundur dibanding jadwal biasanya.


Peneliti BRIN: Hujan Akan Berakhir Februari, Maret Pancaroba, Juni Kemarau

23 Februari 2024

Petugas Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika  (BMKG) memantau monitor prakiraan cuaca wilayah Jakarta dan sekitarnya di gedung BMKG, Jakarta. TEMPO/Subekti
Peneliti BRIN: Hujan Akan Berakhir Februari, Maret Pancaroba, Juni Kemarau

Peneliti BRIN memprediksi hujan akan berlangsung sampai akhir Februari, Maret mulai pancaroba, Juni masuk kemarau.


BRIN Perkirakan Kemarau Lebih Ringan Setelah EL Nino Melemah

28 Januari 2024

Ilustrasi kekeringan: Warga berjalan di sawah yang kering akibat kemarau di Rajeg, Kabupaten Tangerang, Banten. ANTARA FOTO/Fauzan/ama.
BRIN Perkirakan Kemarau Lebih Ringan Setelah EL Nino Melemah

Peneliti BRIN memperkirakan fase El Nino mulai merangkak turun, sehingga kondisi kemarau tidak separah tahun lalu.


35 Persen Wilayah Jawa Barat Ternyata Masih Musim Kemarau

4 Desember 2023

Kondisi tanah pada sawah di kawasan Majalengka, Jawa Barat, Senin, 20 November 2023. Kesulitan air di daerah tersebut mulai dirasakan sejak Juni 2023 hingga saat ini. Akibat musim kemarau, petani mengaliri sawah menggunakan pompa dari sumur yang airnya terbatas. TEMPO/ Febri Angga Palguna
35 Persen Wilayah Jawa Barat Ternyata Masih Musim Kemarau

Hingga awal Desember 2023 sekitar 35 persen wilayah Jawa Barat ternyata masih mengalami musim kemarau.


Menhan Prabowo Serahkan Hibah Sumur Bor dan Pipanisasi Air Bersih di Banten

19 November 2023

Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto menghadiri penyerahan bantuan sumur bor dan pipanisasi di Provinsi Jawa Timur Provinsi Banten,  Di desa Pemabulan, Banten, Jawa Barat, Ahad, 19 November 2023. TEMPO/Tika Ayu
Menhan Prabowo Serahkan Hibah Sumur Bor dan Pipanisasi Air Bersih di Banten

Menteri Pertahan RI Prabowo Subianto menyerahkan bantuan sumur bor dan pipanisasi kepada 15 desa di Banten


BMKG Ingatkan Masyarakat Siap Hadapi Puncak Musim Hujan

16 November 2023

Warga menerobos banjir yang merendam rumah di kawasan Kampung Melayu, Jakarta, Ahad, 5 November 2023. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta menyebut sebanyak 54 RT di Jakarta seperti Cawang dan Kampung Melayu tergenang banjir setelah hujan mengguyur beberapa wilayah Jakarta pada Sabtu, 4 November 2023. ANTARA /Rifqi Raihan Firdaus
BMKG Ingatkan Masyarakat Siap Hadapi Puncak Musim Hujan

BMKG meminta masyarakat agar bersiap menghadapi potensi dampak yang dihasilkan menjelang puncak musim hujan.