TEMPO Interaktif, Dublin - Misteri tingginya gelombang tsunami ketika menyapu daratan diungkap oleh peneliti tsunami dari University College Dublin, Inrlandia. Menggunakan data dari dua tsunami besar di Indonesia, mereka menyimpulkan tsunami berketinggian tak lazim, disebabkan oleh resonansi gelombang.
Tsunami umumnya terdiri dari banyak gelombang yang datang bergantian. Pada beberapa kasus, gelombang pertama bukan yang tertinggi dan menimbulkan kerusakan terbesar. Gelombang terbesar terjadi justru setelah gelombang pertama surut.
Peneliti tsunami memiliki persamaan standar untuk memodelkan gelombang besar. Namun simulasi tersebut selalu menghasilkan kenaikan gelombang lebih rendah daripada kejadian sebenarnya.
Peneliti tsunami dari University College Dublin, Frederic Dias, mencontohkan tsunami Pangandaran pada 17 Juli 2006. Ketika itu gempa sebesar 6,8 Skala Richter menghasilkan gelombang tsunami setinggi 6 meter di pantai Pangandaran, lebih besar dari hasil pemodelan.
Awalnya peneliti menduga ketinggian gelombang ini diperkuat oleh longsor bawah laut namun hal ini juga belum cukup menjelaskan keseluruhan peristiwa. "Peneliti tsunami dipusingkan oleh masalah ketinggian gelombang karena hanya memikirkan tsunami sebagai gelombang yang menaiki pantai lalu surut," kata Dias.
Dias menduga tsunami bisa menjadi lebih tinggi ketika terjadi interaksi antara gelombang pertama dengan gelombang yang menyusul kemudian. Setelah mencapai daratan, gelombang akan surut lebih rendah dari permukaan air laut sehingga menyimpan energi untuk kembali ke daratan.
Energi ini memberikan dorongan pada gelombang kedua yang sedang menghampiri pantai. Gabungan dari dua gelombang ini membuat gelombang kedua yang menghempas daratan lebih tinggi dari gelombang pertama.
Untuk menguji ide ini, Dias melakukan simulasi laboratorium menggunakan minatur pantai yang benar-benar halus. Hasilnya, resonansi bisa memperkuat ketinggian gelombang hingga 60 kali lebih besar dari perhitungan di atas kertas.
Selanjutnya, ia membuat simulasi laboratorium menggunakan miniatur pantai berikut lembah dan gunung dasar laut. Miniatur ini mensimulasikan kejadian tsunami Mentawai pada 25 Oktober 2010. Hasil simulasi menunjukkan resonansi bisa menghasilkan gelombang yang lebih tinggi. "Resonansi terbukti masih terjadi," ungkap Dias.
Menurut peneliti tsunami lain dari University of Wisconsin, Paul Milewski, temuan Dias memiliki kesimpulan yang sangat signifikan dalam penelitian tsunami. Menurut dia, komunitas ilmiah harus menambahkan faktor resonansi pada pemodelan tsunami. Selain itu, ia meminta pemerintah mengubah sistem peringatan dini tsunami yang ada dengan mengirimkan peringatan lebih cepat pada daerah yang berpotensi mengalami resonansi tsunami terbesar.
PHYSICAL REVIEW | ANTON WILLIAM