TEMPO Interaktif, Surakarta - Pertumbuhan bisnis penerbangan nasional kian besar dari tahun ke tahun. Salah satu pemicunya adalah lonjakan jumlah penumpang dari angka 15 juta penumpang di tahun 2000 menjadi 55 juta penumpang sepanjang tahun lalu.
Naiknya jumlah penumpang pesawat terbang berpengaruh terhadap jumlah pesawat. Jika tahun lalu ada sebanyak 647 unit pesawat, maka pada 2015 diperkirakan bisa mencapai 923 buah yang secara otomatis mengerek biaya pemeliharaan pesawat.
Ketua Asosiasi Pemeliharaan Pesawat Indonesia Richard Budi Hadiyanto memperkirakan pada 2015 nilai biaya pemeliharaan pesawat mencapai US$ 2 miliar. “Pada 2010 baru US$ 750 juta,” kata Richard, Kamis, 22 September 2011.
Sayangnya nilai bisnis yang begitu besar belum bisa sepenuhnya diserap perusahaan pemeliharaan dan perawatan pesawat asal Indonesia. Sebagai gambaran, tahun lalu tercatat ada 70 perusahaan yang hanya bisa menyerap 30-40 persen dari total biaya pemeliharaan pesawat sebesar US$ 750 juta. Sementara sisanya digarap perusahaan yang berbasis di Singapura, Thailand, Malaysia, dan Eropa.
Sementara untuk 2015, katakanlah masing-masing perusahaan meningkatkan kapasitasnya hingga dua kali lipat, paling banter hanya mampu menyerap 50 persen dari total nilai bisnis pemeliharaan pesawat sebesar US$ 2 miliar.
Menurut Richard, kendala utama kenapa perusahaan asal Indonesia tidak mampu menyerap semua pekerjaan adalah terbatasnya jumlah sumber daya manusia yang mumpuni. Padahal bengkel pesawat di Indonesia menawarkan harga perawatan yang kompetitif.
Sebagai gambaran, ongkos untuk perawatan rutin Boeing 747 di Eropa sebesar US$ 5-6 juta. “Sementara kalau dikerjakan di Indonesia, bisa hanya US$ 3-3,5 juta,” katanya.
Karena itu dia berharap pemerintah bisa memperbanyak institusi pendidikan yang memiliki sertifikasi mendidik teknisi pesawat. Saat ini baru ada 3, yaitu Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia, Garuda Maintenance Facility, dan Universitas Nurtanio.
UKKY PRIMARTANTYO